Papan Buletin Blog Bhima

Bhima's Leaf

Rabu, 22 Desember 2010

SEJARAH PERKEMBANGAN TEORI EVOLUSI MAKHLUK HIDUP VII

BAB  VII

PERKEMBANGAN MENUJU MANUSIA MODERN

PENDAHULUAN
            Hambatan dalam menelaah evolusi manusia dapat dipahami karena “rasa sebagai manusia dan kemanusiaannya” tersentuh, apalagi dalam pembentukadirinya antara lain melalui pendidikan agama.
            Pada bab ini akan dibicarakan hasil interpretasi para ahli tentang evolusi manusia dengan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi. Disamping itu juga dibicarakan usaha yang membatasi antara ilmu pengetahuan dan agama. Hal ini penting karena diharapkan penelaahan evolusi manusia tidak lagi mendapat hambatan sehingga terjadi pertentangan, karena pada dasarnya apa yang tertera dalam kitab suci merupakan wahyu Ilahi.
            Setelah menyelesaikan modul ini, mahasiswa diharapkan dapat memahami  evolusi primates dan perkembangannya menuju manusia modern

KEGIATAN BELAJAR MENGAJAR
1. Informasi Non-Genetik
Proses evolusi makhluk hidup yang menjadi sorotan tajam dan menjadi perdebatan yang hangat adalah evolusi manusia. Tegasnya kebanyakan orang (awam) mempertanyakan apakah manusia merupakan produk evolusi  seperti halnya makhluk hidup yang lain. Dan bila benar demikian tentunya manusia berasal dari makhluk hidup yang lebih sederhana dan inilah yang menimbulkan “rasa tidak enak” pada orang-orang yang mempertanyakan tersebut, lebih-lebih bila dikatakan leluhur manusia adalah kera. Namaun disamping itu bila manusia merupakan produk evolusi, sehingga berkedudukan sebagai obyek, sehingga konsekuensinya adalah bahwa manusia masa kini akan berevolusi terus, dan tidak mustahil bila keturunan kita di masa mendatang adalah makhluk hidup yang jauh lebih “sempurna” dari kita, manusia sekarang terlepas dari aspek ragawi, yang mempunyai kemiripan dari beberapa jenis binatang tertentu, bahkan ada kesamaan mengenai unsur pembentuk raga yang paling dasar, dengan semua makhluk hidup, dirasakan adanya aspek tertentu yang membedakan manusia dengan makhluk hidup yang lain.
Kalau dalam studi biologi kita mengenal adanya informasi-genetik yang ditransmisikan dari generasi ke generasi, yang memberi gambaran tentang ciri-ciri biologik makhluk hidup yang bersangkutan, maupun kemungkinan perkembangannya kemudian, serta kemungkinan asal mulanya, maka pada manusia selain informasi genetik dikenal adanya informasi non-genetik. Informasi non-genetik mencakup cara merespons lingkungan dan gejala perubahannya, kebiasaan perilaku, pola tradisi dan hasil budaya yang ditransisikan pada keturunannya. Pewarisan ini dan adanya perubahan dari apa yang diwariskan menunjukkan adanya perkembangan yang semakin kompleks.
Hal yang menarik yang dapat dikemukakan disini adalah pemakaian dan pembuatan alat untuk menopang eksistensi makhluk hidup. Dengan alat tersebut makhluk hidup dapat memanfaatkan dan menguasai lingkungan hidupnya, mulai dari sekedar membantu mempermudah memperoleh buruan, mempertahankan diri dari lawan-lawannya, berkompetisi dengan makhluk lain untuk memperoleh makan, membangun tempat berlindung, membuat pakaian, menciptakan seni dan untuk upacara “keagamaan”.
Dari peninggalan yang diperoleh para ahli berusaha untuk membuat interpretasi perkembangan evolusi dari aspek psiko-sosial.
Sorotan perkembangan aspek psiko-sosisal yang dalam judul tulisan ini dimaknakan sebagai perkembangan informasi non-genetik dibatasi dari sorotan terhadap makhluk bipedal, bertumpu, dan berjalan dengan dua anggota (kaki), yang sikapnya tegak sampai yang digolongkan pada Homo sapiens.
Makhluk bipedal yang sikapnya tegak yang paling tua yang ditemukan sampai hari ini, adalah Australopitesin yang mungkin sudah muncul 8 – 10 juta tahun yang lalu, yang sudah diidentifikasikan adalah apa yang sudah ditemukan oleh Bryan Pattersons di Kenya 5,5 juta tahun yang lalu, yang selanjtnya duinamai Australopithecus africanus (australopithecus = kera dari selatan). Yang lebih muda adalah Australopithecus afarensis, yang berumur 3,5 juta tahun, ditemukan di Afar (Ethiopia) oleh Mary Leaky. Disamping kedua Australopithesin tersebut masih dijumpai Australopithesin lain yang hidup sekitar 2 – 1 juta tahun yang lalu, yaitu Australopithecus robustus dan Australopithecus boisei. Makhluk yang digolongkan sebagai hominid (pra-manusia) ini sebagian makan tumbuhan dan ada pula yang makan daging.
Pada situs, tempat ditemukannya fosil Australopithecus africanus si pemakan daging, ditemukan batu dengan bentuk khusus yang menunjukan bahwa batu tersebut digunakan sebagai perkakas untuk berburu dan untuk melawan musuhnya. Ternyata selain Australopitesin disepakati para ahli sebagai pemakai perkakas ditemukan pula oleh suami istri Leakey tipe fosil yang lebih maju dari Australopitesin, yang selanjutnya diberi nama Homo habilis (habilis = tukang), disbut demikian karena ada tanda-tanda bahwa makhluk ini tidak sekedar pemakai alat, tatapi juga sudah membuatnya.




























Gambar 7..1. “Dugaan yang timbul mengenai mata rantai mulai dari makhluk yang diduga sebagai pra manusia sampai manusia modern, “  (Prawoto, 2001).
 



































Sekitar 700.000 tahun yang lalu beberapa tempat di Asia (Jawa), Afrika (Tanzania, Kenya) dan Eropa (Pegunungan Atlas), dihuni oleh makhluk yang semula disebut Pithecantropus (oleh Duboi) yang berarti “manusia kera” , namun adanya ciri-ciri yang lebih berat pada ciri-ciri manusia, maka sebutan yang lebih tepat adalah Homo erectus. Makhluk ini sudah mampu membuat alat untuk berburu yang kualitasnya lebih baik dari yang dibuat oleh Homo habilis dan ragamnya lebih banyak. Dikenal selain alat yang terbuat dari batu, juga alat yang terbuat dari kayu maupun tulang. Yang lebih menonjol lagi adalag bahwa makhluk ini sudah mengenal api, dengan kata lain mereka sudah mengenal benda atau perkakas  yang menghasilkan api. Dari peninggalan kerangka binatang yang menumpuk di tempat tertentu menunjukkan bahwa mereka adalah pemburu  ulung dan satu langkah yang lebih maju adalah adanya kehidupan bermasyarakat yang terdiri dari sekitar 20 – 50 orang. Di Jawa peninggalan yang ditemukan oleh Von Koeningswad yang selanjutnya dikenal dengan Meganthopus palaeojavanicus, si manusia raksasa yang hidup 600-500.000 tahun yang lalu. Setua manusia raksasa adalah fosil yang ditemukan di Goa Chou Kou Tien di China, yang karenanya fosil itu ditandai dengan nama Sinanthropus atau selanjutnya lazim disebut “Homo erectus Pekinensis” hidup sekitar 500.000 tahu yang lalu. Sampai begitu jauh penemuan fosil ini tidak menambah perbendaharaan pelacakan evolusi manusia ditinjau dari segi psiko-sosial/informasi non-genetik.
Penemuan yang menyangkut makhluk yang lebih kemudian, yang berasal dari Asia (Jawa), Afrika (Rodensia) dan Eropa (Inggris), memberi masukkan data adanya oerkembangan yang lebih maju. Perkakas yang ditemukan digunakan untuk menunjukkan berkembangnya keterampilan dalam membuat alat, sehingga tidak lagi sekedar dipotong tetapi sudah di asah. Ini menunjukkan bahwa mereka telah memiliki alat untuk mengasah dan sudah timbul pengetahuan yang berkaitan dengan pemilihan bahan. Fosil yang hidup sekitar 400.000 tahun yang lalu itu, ada yang menganggap sebagai pra Homo sapiens, namun ada sementara ahli yang berpendapat, bahwa anggapan tersebut terlalu maju, mengingat bahwa dari aspek fisik, dalam hal ini bentuk tengkorak dan volume otaknya masih jauh dari manusia modern, begitu pula dari aspek psiko-sosialnya. Para ahli yang disebut belakangan ini menyebutnya sebagai pra manusia Lembah Neander, sungguhpun masih tergolong dalam Homo erectus. Mengingat bahwa banyak penemuan fosil Homo erectus di Jawa, maka dapat diketengahkan di sini beberapa penemuan seperti Homo erectus Mojokerto (Baca: Homo erectus dari Mojokerto) yang paling tua, Manusia Trinil  (ditemukan di desa Trinil, suatu lembah Bengawan Solo), Manusia Sangiran (dari desa Sangiran dekat Solo), Manusia Ngandong yang juga dari Solo, disamping fosil yang pernah disebut dimuka, manusia raksasa dari Jawa (Meganthropus palaeojavanicus) yang juga terdapat di Sangiran.
Kalau pada fosil manusia pra Neanderthal (Pra Manusia dari lembah Neander), perkembangan yang lebih hanya yang menyangkut alat, maka pada manusia lembah Neander yang hidup sekitar 150.000 – 60.000 tahun yang lalu ada perkembangan dalam bidang lain.
Alat yang digunakan tidak terbatas pada alat berburu dan mempertahankan diri, tetapi juga tempat makanan dan minuman. Pada manusia Lembah Neander sudah berkemabang benih adanya kepercayaan Supra Natural, benih-benih keagamaan sebagai contoh adalah ditemukannya kuburan di Le Moustier yang berisi kerangka yang dikebumikan secara terhormat. Ini ditandai dengan adanya perkakas yang terpilih berada dalam kuburan tersebut, juga diletakkannya tengkorak tersebut pada batu yang seakan–akan berfungsi sebagai bantal. Keadaan ini ada yang menterjemahkan sebagai benih kepercayaan adanya hidup sesudah mati. Contoh lain adalah ditemukannya kuburan yang berisikan kerangka manusia yang didampingi beruang raksasa lengkap. Besar dugaan bahwa beruang tersebut dijadikan korban persembahan. Ini mengingatkan bahwa kuburan tersebut terletak pada ketinggian 15.000 m di Juriss pada lereng gunung yang terjal dan hampir-hampir tak terjangkau oleh manusia.
Pada manusia Cro-Magnon yang hidup sekitar 40.000 tahun yang lalu yang menarik adalah bahwa mereka sudah mengembangkan kesenian, dalam hal ini seni lukis. Interpretasi terhadap lukisan-lukisan yang ada di goa antara lain, sebagai bentuk informasi tetang masalah perburuan, macam binatang buruan, cara-cara mematikan atau menjebak dan yang khusus adalah adanya lukisan yang cenderung budaya menangis, misalnya gambar manusia dengan kepala bertanduk rusa dengan sorot mata yang tajam dan membawa tongkat sihir. Mungkin sekali gambar ini bertujuan untuk keberhasilan perburuan (Gambar 7.2). Suatu hal yang mengagumkan adalah bahwa mereka sudah menggunakan pewarna, yang menurut para ahli dapat bertahan tetap cemerlang selama 40.000 – 20.000 tahun. Lukisan daya magis yang lain adalah suatu bangunan berwujud patung wanita dengan tekanan pada ukuran buah dada, perut dan pinggul yang besar yang diduga digunakan sebagai lambang kesuburan. Manusia Cro-Magnon diduga mengadakan pemujaan lewat lukisan-lukisan di dinding goa, khususnya lukisan-lukisan di dinding goa atau celah-celah tebing terasing dan membahayakan bagi pelukisnya. Alat yang digunakan selain dibuat dari batu juga dari tulang atau tanduk, mereka sudah mengenal adanya jarum yang dipergunakan untuk menjahit pakaian yang berupa kulit binatang.
Gambar 7.2. “Lukisan-lukisan oleh Manusia Cro-Magnon, “  (Prawoto, 2001).
 






























Dengan membandingkan “produk budaya”/Budaya yang berupa benda-benda peninggalan, baik yang dipakai, dibuat maupun karya-karya seni dan pola pemujaan, dapat disimpulkan bahwa semakin muda umur geologiknya semakin kompleks peninggalannya. Kemiripan dengan hasil budaya makhluk modern semakin nyata. Dengan demikian adanya arus informasi non-genetik dari generasi ke generasi rupanya mendekati suatu kenyataan. Dan mengingangat bahwa perkembangan hasil “Budaya”/budaya tersebut memakan waktu yang absolut lama, maka orang cenderung menyebut sebagai evolusi psiko-sosisal, evolusi budaya atau kultural.
Hubungan manusia purba dengan lingkungannya menunjukkan bahwa ketergantungan mereka dengan alam, semakin muda usia geologiknya, semakin berkurang. Bila semula mereka tergantung dari kemurahan alam, menyesuaikan diri dengan alam sekitarnya, mereka berkembang menuju pada penguasa alam. Dari pegunungan api jelas bahwa  manusia adalah satu-satunya makhluk yang tidak lari dari api, bahkan menggunakannya untuk melawan alam, terhadap udara yang dingin dan menggunakannya sebagai sarana untuk mengusir binatang-binatang liar, disamping sebagai sarana berburu.

2. Kaitan “Evolusi Kultural” dan “Evolusi Biologik”

Di awal bab ini telah dibicarakan adanya peninggalan-peninggalan “budaya” yang menunjukkan bahwa semakin muda umur fosil, semakin kompleks peninggalan “budayanya”. Apakah peninggalan yang semakin kompleks atau maju itu disebabkan oleh adanya informasi non-genetik yang ditransmisikan dari generasi ke generasi, tentunya hal itu yang harus dijawab, kalau kita akan bicara masalah evolusi kultural. Perkembangan aspek psiko-sosial dari individu tidak lepas dari perkembangan biologiknya, dan atas dasar inilah orang cenderung untuk mencoba mencari hubungan antara peninggalan yang mempunyai aspek psiko-sosial dan aspek ragawinya.
Analisis untuk mencari kaitan dimaksud sudah barang tentu bersifat interpretatif dengan menggunakan modal objek konkret berupa peninggalan dan modal analisis dan perkembangan ilmu pengetahuan dewasa ini. Hal ini penting dikemukakan oleh karena bertambahnya ilmu pengetahuan yang melaju dengan pesat dan bertambahnya penemuan hasil eksplorasi dengan teknologi canggih, sangat boleh jadi mengubah pendapat, hasil analisis tersebut. Lebih-lebih karena membicarakan evolusi manusia adalah membicarakan diri kita sendiri, oleh karena itu tidak dapat dielakkan adanya rancu ilmiah (Scientific bias) dan rancu kultural (Cultural Bias).
Upaya untuk mencari hubungan seperti dimaksud di atas, menurut ahli antropologi, merupakan suatu keharusan, karena manusia adalah bagian integral dari alam, dari suatu segi mempunyai kedudukan yang sama dengan makhluk hidup yang lain, jadi merupakan produk evolusi dan dari segi lain mempunyai kemampuan dan potensi yang khas, yang dapat mempengaruhi alam sekelilingnya.
Sotoran pada aspek biologik pada makhluk-makhluk yang dianggap leluhur manusia, atau setidak-tidaknya diduga mempunyai leluhur yang sama dengan manusia atau hidup berdampingan pada waktu yang lama.
Gambar 7.3. “Struktur Pelvis, “  (Prawoto, 2001).
 























Pada fosil makhluk-makhluk tersebut analisis utama dapat ditunjukkan pada bagian-bagian yang paling pokok, yaitu: kaki, pinggul, tangan dan kepala. Ketiga bagian tersebut merupakan kunci yang antara lain  dapat memberikan gambaran tentang posisi tubuh, perilaku gerak dalam kaitannya dengan tanggapan terhadap rangsang, perilaku gerak dalam kaitannya dalam upaya pemenuhan kebutuhan fisologik, kemampuan memilih, menggunakan dan membuat alat bantu untuk pemenuhan kebutuhan fisiologik, kedudukan alat indera dan besarnya potensi penginderaanya, volume otak dan perkembangan bagian-bagiannya, kedudukan kepala dalam kaitannya dengan kedudukan otot-otot tertentu, bentuk dan perilaku makan.
Dari bentuk tulang pinggul dapat diperkirakan posisi tubuh fosil yang diteliti, sewaktu masih hidup (Lihat Gambar 7.3).
Panjang tulang-tulang, panjang kaki ikut menentukan gerak atau kegesitan gerak, kemudian pula besarnya tulang-tulang tersebut, kondisi tulang, lurus atau bengkok ikut pula menentukan, begitu juga kedudukan tulang telapak kaki. Pada manusia sekarang kedudukannya tulang-tulang tersebut, sedemikian rupa keadaannya, sehingga bila kaki ditapakkan, telapak kaki tidak seluruhnya secara merata menapak di landasan.
Bipedalisme, sungguhpun tidak menjamin kecepatan gerak, tetapi ada keleluasaan gerak, yang memberi keuntungan pada usaha membela diri. Dari segi lain bipedalisme memberi kebebasan pada ekstremitas superior yang memberi keuntungan dalam rangka membela diri, mencari makan dan menghasilkan karya mulai bentuk yang paling sederhana seperti kapak genggam sampai karya yang bernilai seni seperti halnya Manusia Cro-Magnon (Lihat Gambar 7.2). Karya bentuk lukisan tersebut hanya akan terwujud bila ibu jari dapat bergerak secara luwes (prehensil) dan dapat dipertemukan dengan jari-jarinya atau paking tidak dengan jari telunjuk. Keuntungan lain dari ekstremitas superior dari fungsi lokomosi adalah dipengaruhinya fungsi lain, seperti pemeliharaan atau mengasuh anak/keturunan dan meraba serta untuk komunikasi dalam bentuk isyarat, disamping bentuk-bentuk lambang lain yang telah dikemukakan di awal bab ini dinyatakan sebagai transmisi informasi non-genetik, suatu bentuk aktivitas psiko-sosial.
Letak alat indera, misalnya mata, yang terletak pada suatu bidang memungkinkan adanya penginderaan binokuler, dan pada perkembangannya memungkinakan penginderaan stereoskopik, sehingga obyek tiga dimensi dapat tertangkap sebagaimana keadaan yang sebenarnya. Pada makhluk arboreal, yang hidup di pepohonan, jarak dahan ke dahan dapat terindera secara tepat. Pada makhluk teresterial penginderaan stereoskopik memberikan kemampuan pandang dalam yang memungkinkan dapat mengindera dengan cermat. Pada makhluk arboreal dan teresterial dan teresterial perkembangan penglihatan dan perabaan yang semakin maju, melebihi perkembangan indera penciuman dan pendengar. Bagi makhluk arboreal ini sangat berarti untuk ketepatan sasaran yang akan dicapai, sedang pada makhluk teresterial koordinasi tangan dan mata merupakan sarat pembutan alat perkakas.
Bentuk tengkorak memberi kemungkinan perkembangan bagian-bagian otak tertentu, seperti bagian frontal yang berkaitan dengan gerak, bagian temporal berkaitan dengan tutur dan ingatan, bagian occipital ada hubungannya dengan penyimpanan informasi.
Semakin luas dan kompleksnya pengideraan baik melalui indera penglihatan maupun peraba, membawa konsekuensi perkembangan sistem masukkan sensorik, mekanisme neural untuk mengevaluasi masukkan sensorik, dalam hal ini terjadi di cortek cerebri, yang juga berfungsi untuk formulasi dan inisiasi tanggapan terhadap stimulasi lingkungan yang diindera.
Rahang bawah yang masif dan karenanya berat, serta menonjol ke muka, mengisyaratkan sulitnya komunikasi secara lisan, demikian pula adanya guratan yang menunjukkan tempat pertautan otot yang kuat. Gigi geligi pada rahang memberi ilustrasi apakah sewaktu hidup makanannya berasal dari tumbuhan atau berupa daging. Geligi yang merupakan indikator apakah pemakan daging dapat dikaitkan dengan bentuk dan susunan tangan yang luwes.
Makhluk bipedal yang berpostur tegak atau hampir tegak yang oleh sementara ahli digolongkan pada homonid (menyerupai manusia) adalah Australopitesin (kera dari selatan). Dibedakan Australopitesin pemakan tumbyhan seperti Australopithecus robustus, dilihat dari geliginya dan pemakan daging seperti Australopithecus boisei. Volume otak berkisar antara 400 – 530 cc, ciri ke-kera-an selain dilihat dari volume otaknya juga dari dahi yang rendah, tulang kening yang menonjol, rahang masif dan geligi kekeraan. Kepala menggantung karena foramen magnum berada di belakang. Di antara Australopithesin yang dikenal diantaranya yang paling muda adalah Australopithecus boisei. Sementara para ahli beranggapan bahwa makhluk tersebut telah mampu membuat alat, nyata dapat dibedakan dari yang ada disekitarnya. Namun kemudian dari hasil penggalian Leaky suami istri, ditemukan di Olduval (tanganyika) fosil yang oleh mereka disebut sebagai Homo habilis si manusia tukang. Dari tengkorak yang ditemukan terlihat bahwa kapasitas otaknya lebih besar dari Australopitesin, tengkoraknya halus cenderung membulat, dan tangannya menurut Napier, yang ahli dalam penelaahan fungsi tangan, mempunyai kapabilitas untuk membuat alat. Namun sengketa tentang julukan Homo berkembang dan ada yang beranggapan bahwa “Homo habilis” adalah Australopitesin yang sudah maju.
Dari pendapat yang pertama dapat diartikan bahwa Australopiesin dan leluhur Homo haiblis bersia sekitar 2,5 juta tahun. Perkiraan ini didasarkan pada penemuan Richard Leaky di danau Turkana yang mempunyai keistimewaan antara lain mempunyai tulang kening yang tidak menjorok, kapasitas otak ± 800 cc, dan dikenal sebagai pemakan daging. Fosil ini kemudian dikenal sebagai manusia 1470, disebut demikian karena di Musium Nasional Kenya tercatat sebagai fosil yang  bernomor 1470. Fosil yang lebih muda adalah fosil yang semula dijuluki sebagai manusia kera atau Pithecanthropus, yang karena berdiri tegak, disebut Pithecanthropus erectus. Namun kemudian julukan tersebut dirubah menjadi Homo erectus karena ciri-ciri manusianya lebih menonjol. Dengan demikian statusnya kebalikan dari Australopithecus yang dijuluki kera yang mirip manusia.
Volume otak Homo erectus berkisar antara 700 – 900 cc, seperti yang dikemukakan oleh Von Koenigswald di Jawa, manusia jawa yang berkapasitas 900 cc. Tengkorak dari anak-anak dari apa yang disebut Homo erectus Mojokerto saja, kapasitas otaknya 700 cc, fosil yang sangat mirip dengan Homo erectus penemuan Von Koenigswald adalah Homo erectus Peking yang semula disebut sebagai Sinanthropus.
Fosil yang lebih muda yang kemudian disebut manusia Trinil dan manusia Ngandong (Homo erectus Soloensis) disebut demikian karena letak kedua kota tersebut adalah dekat Bengawan Solo, mempunyai kapasitas otoak antara 900 – 1.000 cc. Besarnya otak ini selanjutnya dikaitkan pula dengan ditemukannya ± 2.400 perkakas dekat Pacitan. Mereka sudah menggunakan api, sebagaimana diketahui api adalah suatu yang menarik, melalui penginderaan mata, tetapi sekaligus menakutkan bagi binatang. Diperkirakan otak Homo erectus mempu memanipulasi api tidak saja untuk memanasi tubuh tetapi untuk keperluan yang lain.
Ciri yang mendekati ciri manusia adalah adanya prosessus mastoideus, tonjolan tulang tengkorak, oss, mastoideus, yang letaknya dibelakang telinga. Disamping itu gigi geligi yang serupa manusia , tidak ada taring yang muncul, sedang proporsi rahangnya mirip proporsi rahang manusia. Namun demikian ciri kekeraan yang masih terlihat adalah tulang kening yang menonjol dan masif serta dahi yang melereng (agak kurang), pada Homo erectus Peking, fosil ini di juluki Pra-Neanderthal.
Gambar 7.4. “Tengkorak Gorila, Australopithecus, Pithecanthropus, Neanderthal, dan Cro-Magnon, “  (Prawoto, 2001).
 
 



Tengkorak manusia Lembah Neander menunjukkan semakin dekat ciri manusia modern, namun belum dapat digolongkan pada manusia modern. Bentuk bagian tengkorak tidak seekstrim pada Homo erectus ataupun Australopiithecus, meskipun ciri adanya tulang kening dan tidak adanya dagu masih mewarnai bentuk tengkorak keseluruhan. Yang mengherankan adalah besarnya otak sama dengan otak manusia modern. Manifestasi dengan semakin besarnya volume otak tersebut adalah adanya gejala pemujaan suatu yang abstrak, mereka telah mulai berabstraksi dan setidak-tidaknya berkhayal.
Catatan fosil yang khusus adalah fosil manusia Swanscombe dari lembah sungai Thames (London) yang ternyata kemungkinan besar lebh tua dari manusia lembah Neander, namun mempunyai ciri-ciri yang mirip dengan Homo sapiens. Sementara ahli beranggapan bahwa Manusia Swanscombe, juga yang lain, yaitu Steinheim merupakan manusia modern yang muncul terlalu dini, garis-garis primitif memang masih kelihatan, namun lebih berkemang dibanding dengan manusia Lembah Neander.
Fosil manusia Cro-Magnon, yang hidup 40.000 – 10.000 tahun yang lalu, adalah benar-benar makhluk yang mirip dengan Homo sapiens. Tengkorak tipis, dahi tinggi, mulut tidak monyong sedang besarnya otak sama dengan manusia modern.
Secara lepas makin muda umur geologik fosil, makin kompleks perkembangan budaya, dan aspek psiko-sosialnya, semakin muda umur geologik fosil, perkembangan bagian tubuh tertentu semakin mirip dengan manusia modern.
Pertanyaan yang timbul adalah apakah perkembangan raga tersebut ada kesinambungannya, untuk dapat dikatakan sebagai suatu proses evolusi.
Munculnya Homo hibilis pada masa  “kejayaan” Australopithecus, dan munculnya manusia Swanscombe bersamaan waktunya dengan Homo erectus, memberikan gambaran kemungkinan adanya kesinambungan informasi genetik.
Hal tersebut mendorong para ahli untuk mencoba mencari bentuk-bentuk antara, antara manusia dengan kera. Hal ini penting oleh karena hebatnya pro dan kontra terhadap teori yang dikemukakan oleh Charles Darwin yang menyatakan bahwa spesies itu mengalami perubahan dari masa ke masa, tanpa dapat mengelak dari pengaruh lingkungan, perubahan itu dapat begitu jauh hingga dapat menjadi spesies baru.
Dari penemuan Australopitesin yang dianggap sebagai kera yang mempunyai ciri manusia, kemudian manusia kera yang dinyatakan cenderung sebagai manusia tetapi masih mempunyai ciri kera, semua itu tidak melegakan harapan, karena ciri-ciri yang ada pada Australopitesin, maupun manusia kera (Pithechantropus) masih terlalu harus. Para ahli masih mencari bentuk peralihan yang lebih “halus”, suatu bentuk “campuran”  dalam arti sebenarnya.
Sehingga pada tahun 1912, Charles Dawson menemukan fosil di Piltdown (Inggris) yang benar-benar dapat mewakili bentuk antara yang dicari. Fosil tersebut menunjukkan adanya campuran yang lebih, integral, karena telah direkonstruksi bentuk fosil itu nyata-nyata merupakan tengkorak manusia modern, dengan rahang bawah yang mempunyai ciri kera. Fosil tersebut pernah dinamai Eoanthropus Dawnsoni, meskipun demikian dengan membandingkan fosil tersebut dengan penemuan lain, para ahli merasa curiga, karena fosil yang ditemukan adalah cenderung menunjukkan tengkorak yang menyerupai kera dan rahang yang menyerupai manusia. Lalu arah evolusi manakah yang benar?
Ternyata kemudian pada permulaan 1950, dengan pengujian kimiawi, melalui Horine Test serta melalui analisis anatomi, ternyata bahwa fosil tersebut palsu. Tengkorak tersebut adalah hasil rakitan yang cermat tentunya oleh orang yang mengenal kimia dan anatomi. Hal ini menilik warna tulang yang kepurba-purbaan dan bentuk gigi yang kekera-keraan, hasil suatu kikiran yang cukup halus.
Akhirnya manusia Piltdown disisihkan dari percaturan penelitian fosil-fosil antara, dan dianggap sebagai suatu lelucon yang menyakitkan hati. Betapa tidak, selama ± 40 tahun, para ahli berdebat dan terdorong untuk mencari kelengkapan informasi tentang fosil tersebut.

 

3. Potensi Manusia dalam Evolusi

Hingga dewasa ini evolusi yang menyangkut manusia masih saja mengundang perdebatan yang sengit, meskipun mulai ada tanda-tanda pengertian bahwa manusia bukanlah makhluk yang dapat terbebas dari pengaruh perubahan lingkungan dan manusia tidak pula luput dari efek negatif perbuatannya dalam memanfaatkan alam sebagai sumber untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Keadaan inilah yang diungkapkan dengan kalimat “Bahwa manusia adalah bagian integral dari alam”.
Kalau di masa lalu ulama Gereja, Uskub Oxford, yang bernama Samuel Wilberforce (1860), dengan kemarahan yang luar biasa membakar hadirin untuk membakar teori Darwin, maka dewasa ini orang dapat memahami teori tersebut, meskipun hal tersebut tidak berarti menyetujuinya.
Sementara orang awam berpendapat, bila benar manusia itu produk evolusi dan bila evolusi itu terus berlangsung seperti yang terjadi di masa lampau, maka keturunan manusia dikemudian hari adalah makhluk yang lebih sempurna dibanding dengan manusia masa kini. Sudah barang tentu hal ini sekedar di dasari pada pemikiran analogik belaka, tanpa ada kejelasan dalam hal apa kelebihannya dan bagaimana mekanismenya. Bagaimanapun hal ini mendorong para ahli untuk mendoba mengungkap kebenaran proses evolusi, melalui eksplorasi dari aspek Geologik, paleontologik, maupun arkeologik,disamping mulai diadakannya eksperimentasi dengan ilmu dan alat mutakhir yang dapat menunjang mempertajam bila perlu membenahi atau merombak gagasan evolusi. Mereka dapat melakukan hal ini dengan lebih terbuka.
Lebih dari itu banyak para ahli termasuk para ulama, mencoba menelaah evolusi manusia, dengan menggunakan kitab suci sebagai bahan acuannya. Jelas hal ini tidak  terjadi pada abad IX dan sebelumnya.
Sebagaimana diketahui sebelum Charles Darwin mengemukakan gagasannya tentang asal mula spesies, kebanyakan orang berpendapat bahwa spesies (makhluk) hidup itu suatu ciptaan. Pendapat ini jelas bersumber dari Kitab Suci. Dalam ilmu pengetahuan saat itu berkemabang pendapat tentang tetang “Special Creation” yang intinya pada dasarnya tidak berbeda dengan apa yang diacu dari Kitab Suci, meskipun pengungkapannya berbeda. Ciptaan khusus (Special Creation) menyatakan bahwa setiap spesies diciptakan secara khusus oleh suatu kekuatan yang disebut sebagai “Super Natural Power”.
Namun pengalaman menyedihkan dimasa lampau yang menyangkut hukuman mati terhadap Galileo Galilei karena mempertahankan faham “Heliosentris” dari Capernicus, membuat orang berhati-hati karena dikemudian hari ternyata teori tersebut benar. Senada dengan itu pula setelah dipahami bahwa panjang hari di planet bumi tidak sama dengan di planet-planet lain, orang dapat memahami bahwa sebutan “hari” dalam Kitab Suci yang menyangkut ciptaan bumi dan seisinya tidak dapat disamakan dengan “hari”  seperti yang dikenal oleh kebanyakan orang, yaitu 24 jam dalam sehari semalam. Para ulama kini cenderung memahami Kitab Suci tidak secara harfiah, seperti yang tersurat, tetapi lebih pada yang tersirat. Perkembangan ilmu pengetahuan yang juga membentuk cara berfikir dan bersikap, memberi kemampuan pada manusia dalam abad ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) ini, untuk memahami apa yang ada di “balik” kata-kata dalam Kitab Suci itu. Sudah barang tentu hal inipun mengundang perdebatan pula karena perlu diketahui pula pendapat bahwa Agama tidak dapat dicampur adukan  dengan ilmu pengetahuan dalam penggunaannya sebagai pisau analisis masalah yang berkembang, kini mulai berubah, orang berusaha untuk mencari titik temu yang menjembatani antara Ilmu pengetahuam dengan Agama. Catatan khusus akan hal ini akan berlaku bagi kita yang hidup di Negara Pancasila ini, karena disini kita mengaku bahwa Kitab Suci berisikan Wahyu Illahi, dan bukan buatan Orang karena itu kebenaran yang terkandung adalah mutlak dan kekal. Kini banyak buku-buku yang mencoba untuk menelaah proses evolusi, termasuk asal-usul manusia dengan menggunakan Kitab Suci.
Pada bab sebelumnya telah disinggung bahwa, terjadinya spesies baru menurut Charles Darwin dapat terjadi akibat terjadinya seleksi alam. Pendapat Charles Darwin ini lebih berupa sebagai interpretasi dari pada kenyataan, interpretasi yang tidak dilandasi oleh teori yang kuat. Hanya enam tahun kemudian pertanyaan yang tidak terjawab mengenai mekanisme seleksi alam, jawabannya tersimpul hasil percobaan-percobaan oleh Mendel dan para ahli ilmu Genetika.
Dalam pelacakan menuju perkembangan menuju manusia modern banyak dugaan yang timbul mengenai mata rantai mulai dari makhluk yang diduga sebagai pra manusia modern. Salah satu kemungkinan adalah menganggap bahwa garis tersebut dimulai dari Australopithecus,- Homo habilisHomo erectus (Pithecanthropus)  - Manusia Lembah Neander – Manusia Cro-magnon - Manusia modern. Pendapat yang lain adalah  bahwa Homo habilis lah yang merupakan titik mula leluhur manusia, yang bipedal, untuk selanjutnya dapat digambarkan sebagai berikut: Homo habilis – Manusia lembah Neander – Manusia Cro-Magnon – Manusia Modern atau dengan adanya ciri-ciri yang lebih manusia pada manusia Swanscombe maka kemungkinan urutannya menjadi Homo habilis – Manusia :”Swanscombe” (mempunyai ciri yang sama dengan manusia Swanscombe yang ditemukan di lembah sungai Thames) – Manusia Cro-Magnon – Manusia Modern. Masih banyak kemungkinan yang dapat terjadi.
Dari kemugkinan mata rantai tersebut kemungkinan yang lain adalah adanya kemungkinan pertukaran gena antara yang diduga sebagai leluhur manusia, yang hidup dalam saat yang bersamaan dan mempunyai relung (niche) yang sama. Ini berarti bahwa antara mereka yang hidup pada dimensi waktu yang jauh, keturunannya tidak mungkin untuk saling tukar-menukar gena, dan mereka disebut sebagai Chronospecies. Pengertian ini dilandasi oleh pengertian bahwa dalam perjalanan waktu, makhluk hidup dapat mengalami modifikasi, modifikasi berlanjut, ataupun mutasi kecil sehingga dalam dimensi waktu tertentu, suatu saat keduanya tak mungkin mengadakan pertukaran gena. Pengertian lain yang timbul adalah pengertian Biospecies, yang timbul dan berkembang dalam kurun waktu yang sama. Ilustrasi beriut memberi gambaran tentang Biospecies dan Chronospecies.
Kemungkinan pertukran gena antar populasi kecil (sub Populasi) dapat terjadi, meskipun tidak harus demikian. Gambar 7.5 memperlihatkan tentang kemajuan terjadinya pertukaran gena antara sub populasi karena mengandung informasi genetik yang sama.
Dari percobaan-percobaan penyilangan maupun yang berlangsung secara alami selalu ada kemungkinan munculnya varian yang jauh berbeda dengan keturunan yang lain. Apakah varian yang khas ini dapat mengadakan pertukaran gena dengan yang lain, mungkin saja meskipun tidak menjadi keharusan. Dimulai kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi yang menyangjut makhluk-makhluk hidup yang mendahului manusia modern. Jelas menggunakan pengalaman dan ide dari genetika berkedudukan sebagai analisis pikir murni. Pendekatan Biokimiawi dan Biofisikawi dapat memberi harapan gambaran hubungan antar spesies dari peninggalan yang konkret.

Gambar 7.5. “Pertukaran Gena Antar Sub Populasi, “  (Prawoto, 2001).
 

























Kenyataan bahwa manusia Cro-Magnon perkembangan fisik tidak lagi nyata. Dalam hal ini Theilhard de Chardin berpendapat bahwa perkembangan yang terjadi adalah perkembangan kesadaran batin. Menurut Teilhard fase-fase evolusi pada makhluk tersebut telah memasuki fase noosfera atau fase pikiran.
Mengenai “kesadaran batin” sesungguhnya tidak hanya dijumpai pada manusia saja, tetapi memang bahwa kesadaran batin pada manusia merupakan bentuk paling tinggi, Evolusi yang menuju pada manusia modern, menurut Teilhard justru dimulai dari perkembangan internalnya, kemudian perwujudan keluarnya adalah sebagai suatu bentuk aksi pada lingkungan. Pada evolusi manusia interaksi dengan lingkungan, menunjukkan kecenderungan bahwa semakin muda usia geologik pendahulu manusia modern, semakin jelaslah peran “kesadaran batinnya”. Manusia tidak semata-mata beradaptasi terhadap lingkungannya. Hal ini mungkin benar pada Australopitesin, tetapi selanjutnya perkemabangannya adalah terjadi suatu evolusi dalam mewujudkan relungnya (niche). Itulah sebabnya sementara para ahli berpendapat bahwa adaptasi manusia dalam perkembangan  evolusinya tidak semata-mata terhadap alam, tetapi juga terhadap lingkungan kulturnya.
Evolusi “kesadaran batin” menurut Teilhard mencapai puncaknya pada manusia, dan ini terus berkembang samapai mendekati titik omega (w) yaitu mendekati sifat-sifat Tuhan. Kata mendekati harus digaris bawahi karena bagaimanapun sifat itu tidak pernah akan tercapai disamping itu menjadi pertanyaan besar, melihat keadaan dewasa ini, yang penuh dengan hingar-bingar, penyimpangan norma dan nilai-nilau luhur yang sudah menjadi tradisi, peperangan, perkosaan, dan segala macam kekerasan. Sampai-sampai kekerasanpun kini sudah melembaga. Apakah manusia sekarang memiliki sifat-sifat yang lebih luhur dari nenek moyang kita leluhur manusia yang masih berbudaya alami?.
Komunikasi yang terbuka, transportasi yang canggih, perubahan cara berpikir, bersikap dan bertindak memungkinkan terjadinya alur gena secara leluasa, bahkan bukan sekedar alur potensi tetapi sekaligus alur produk budayanya. Relung (niche) ekologik cenderung menjadi seragam namun semakin jauh dari sentuhan alam. Adaptasi, seleksi alam dan spesiasi tidak lagi semata-mata tergantung alam. Manusia cenderung untuk mengarahkan sendiri ciri-ciri keturunannya di masa datang.

 

RANGKUMAN
Seperti halnya dalam genetika, informasi non genetik ditransmisikan dari generasi ke generasi. Bahan yang diinformasikan dapat mengalami perubahan, karena adanya interaksi dengan perkembangan lingkungan hidupnya.
Sebagaimana informasi genetik, informasi non genetikpun dipergunakan sebagai ciri penyandang informasi dan dapat dipergunakanuntuk meramalkan ciri apa saja yang akan muncul dikemudian hari, disamping dapat digunakan untuk melacak ciri apa yang berkembang sebelumya dan ciri apa yang akan berkembang dikemudian hari.
Kompleksitas dengan tubuh berkaitan dengan kompleksitas fungsi yang dapat dijangkau. Peninggalan berupa tulang hanya dapat digunakan untuk memperkirakan fungsi yang diemban. Kesulitannya adalah bahwa peninggalan yang ada tidak lengkap, terlebih bila berkaitan dengan pelaksanaan informasi lisan.

 

TES  FORMATIF

1.      Informasi non genetik ditransmisikan pada pendahulu manusia melalui cara berikut, kecuali:
A.    Secara Lisan
B.     Melalui Lambang Non Verbal
C.     Melalui contoh/pengamatan proses pembuatan
D.    Melalui benda peninggalan
2.      Perbedaan evolusi manusia dan hewan adalah adanya
A.    Transmisi informasi non genetik
B.     Transmisi informasi genetik
C.     Perkembangan psiko-sosial
D.    Perkembangan organ-organ tubuh
3.      Perdebatan mengenai proses evolusi manusia disebabkan karena . . .
A.    Kesulitan menemukan fosil
B.     Kesulitan menafsie umur
C.     Menyangkut harkat dan martabat manusioa
D.    Bertentangan dengan kitab suci
4.      Dari pemikiran evolusi, pernyatan mana benar?
A.    Karena sudah maju dari aspek biologis, maka makhluk tersebut makan daging
B.     Karena makan daging, maka terjadilah perkembangan yang lebih maju dari aspek biologik
C.     Makan daging dan perkembangan maju, dari aspek biologik tidak ada kaitannya
D.    Mana yang lebih dulu antara makan daging dan aspek biologik tidak dapat ditentukan
 


Cocokkan jawaban saudara dengan kunci tes formatif. Hitunglah jumlah jawaban anda yang benar kemudian gunakan rumus di bawah ini untuk mengetahui tingkat penguasaan saudara terhadap materi yang dipelajari.
R u m u s :
                                          Jumlah jawaban yang benar
Tingkat penguasaan  =                                                        X  100%
                                             Jumlah soal
Taraf  Penguasaan:

90% - 100%                = baik sekali                            70% - 79 %     = cukup
80% - 89%                  = baik                                      < 70%              = kurang
       Jika saudara mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, saudara dapat meneruskan ke bab berikutnya. Tetapi jika kurang dari 80%, saudara harus mengulangi lagi mempelajari bab ini terutama bagian yang belum dikuasai.
 


KUNCI  JAWABAN  TES  FORMATIF

1.      A. Informasi non genetik ditransmisikan oleh para pendahulu manusia melalui lambang, lukisan, alat-alat yang terbuat dari batu atau tulang, dan sebagainya.
2.      C. Adanya perkembangan psiko-sosiallah yang membedakan antara evolusi manusia dengan hewan.
3.      C. Yang paling menimbulkan perdebatan sengit dalam membicarakan evolusi manusia adalah karena menyangkut harkat dan martabat manusia.
4.      B. Ada hubungan antara jenis makanan dengan perkembangan aspek biologik, dimana karena makan daging maka terjadi perkembangan yang lebih maju dari aspek biologik.

DAFTAR  PUSTAKA



Campbell’s. Biology, 3rd Ed. The Benjamin/Cummings Publishing Company,Inc.

Cann L.R. and Wilson A.C., The Recent African Genesis of Humans, Scientific American, 1992.p. 20 – 27.

Darwin Charles, The Origin of Species. New York: Avenel Bodes. 1979.

Dobzhansky Theodosius. Evolution. W.H. Freeman and Company, San Fransisco. 1976.

Ehrlich, Paul R. et al., The Proces of Evolution. New York: Mc Graw-Hill Book Company, 1974.

Gardner E.J., Simmons M., Snustad D.P., Principles of Genetics. 8th Ed. John Wiley & Sons, Inc. New York, Toronto, Singapore. 1989.

Howell Clark. Manusia Purba. Jakarta: Tira Pustaka. 1979.

Johnson L.G. Biology. 2nd Ed. Wm.C. Brown Publishers. Dubuque, Iowa. 1987.

Keeton Gould. Biological Science. New York: W.W Norton & Comp. Inc. 1984.

More Kuth. Evolusi. Jakarta: Tira Pustaka, 1979.

Ridley Mark, Evolution. 2nd Ed. Blackwell Science. Atlanta, Georgia. 1996.

Simpson C.C. The Meaning of Evolution. New York: Yale Univ. Press, 1967.

Wallace, R.A. The Ecology and Evolution of Animal Behaviour. California: Good Year Publishing, Comp. 1973.

Wolpoff M.H. and Thorne A.G, The Multiregions Evolutions of Humans. Scientific American. 1992.p. 28 – 33.




























BAHAN   AJAR




MATA KULIAH  EVOLUSI
KODE MATA KULIAH/SKS: 4314-2-2373/2









Oleh

Dra.  Frida  Maryati  Yusuf,  M.Pd.








JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN IPA
UNVERSITAS  NEGERI GORONTALO
2006

Tidak ada komentar:

Pengikut