Papan Buletin Blog Bhima

Bhima's Leaf

Jumat, 24 Desember 2010

Pengantar Etnobotani



Tabel 1.3 Ringkasan studi etnobotani dunia baru (lihat teks untuk rinciannya)
  1. Penemuan dunia baru memulai identifikasi beberapa tanaman yang memiliki nilai ekonomi yang cukup besar berdasarkan observasi terhadap orang-orang pribumi.
  2. John Josselyn memulai studi tentang sejarah alam (natural history) New England, kemudian mempublikasikan teksnya tentang jamu (obat herbal) orang pribumi, yang sudah jarang ditemukan di New England.
  3. Pekerjaan mungkin dikembangkan oleh ahli botani Palmer dan Powers yang menggembar-gemborkan selama 25 tahun, di mana lapangan sebagian besar didominasi oleh ahli botani ekonomi.
  4. Persiapan World Fair (Pekan Raya Dunia) merangsang minat antropologi ilmu botani penduduk asli, yang menyebabkan meningkatnya penekanan pada signifikansi budaya tanaman.
  5. Colville menerbitkan Petunjuk untuk Pengumpulan Spesimen dan informasi yang menggambarkan penggunaan tanaman oleh penduduk asli; Harshberger memperkenalkan istilah Etnobotani.
  6. Fewkes memperkenalkan etnobotani ke dalam literatur antropologi.
  7. Departemen Ethnobotany pada Museum Nasional Amerika Serikat mengusulkan untuk mendokumentasikan semua tumbuhan yang digunakan, untuk tujuan apa saja, oleh orang-orang Indian, Amerika Utara.
  8. David Barrows adalah doktor pertama yang membuat disertasi dibidang etnobotani, sementara itu di universitas menunjukkan peningkatan minat terhadap mata kuliah tersebut.
  9. Gilmore menekankan modifikasi aktif dari dunia tanaman oleh masyarakat tradisional, yang akan memicu meningkatnya minat terhadap pengelolaan sumber daya tradisional.
  10. Castetter menetapkan Program Master untuk Etnobotani di University of New Mexico.
  11. Etnobotani menjadi semakin disamakan dengan konsep linguistik dan klasifikasi, sementara Conklin juga menyoroti pentingnya pemahaman praktis dari sistem klasifikasi masyarakat (tradisional). Sementara itu, minat akan palaeoethnobotani semakin meningkat seperti teknik archaeobotanical yang juga meningkat.
  12. Society of Ethnobiology menerbitkan Edisi Pertama Jurnal Ethnobiologinya pada tahun 1981.
  13. Kedua program (pascasarjana dan program sarjana) Etnobotani menjadi semakin banyak, sementara itu banyak proyek-proyek penelitian berfokus pada aplikasi praktis dari pengetahuan terhadap tanaman tradisional.

Dalam dekade selanjutnya, studi etnobotani memasuki fase ekspansi yang cepat dan terus mengalami perubahan. Hanya setahun setelah kuliah sejarahnya, antropolog Walter Fewkes memperkenalkan istilah Harshberger ke dalam literatur antropologi, di mana ia menekankan nama-nama tanaman orang Indian Hopi dan etimologi mereka; pada tahun 1990 gelar doktor pertama yang membuat disertasi dalam bidang etnobotani - The Ethnobotany Of The Coahuilla Indians Of Southern California - diberikan kepada Daud Barrows oleh University of Chicago; pada tahun 1916 ‘Etnobotani’ telah diperluas untuk mencakup tidak hanya bagaimana tumbuhan digunakan oleh masyarakat adat, tetapi juga bagaimana mereka dirasakan dan dipahami dalam kebudayaan yang berbeda (Robbins et al. 1944. dikutip dalam Castetter 1916). Poin terakhir ini kemudian diperluas oleh ahli ethnobiologi Amerika, Melvin Gilmore, yang berpendapat kesamaan kebutuhan untuk menginterpretasikan data ethnobotanical dalam konteks budaya, dan peran penting dalam studi linguistik ethnobotanical.

Etnobotani kemudian didefinisikan kembali, data yang relevan diakumulasikan dengan pesat: Ethnologi khusus ditujukan untuk penggunaan tanaman meliputi studi umum tanaman yang digunakan saat ini dan peraturan adat dalam kehidupan sehari-hari oleh suku-suku yang masih ada (Gilmore 1919; Densmore 1928) maupun yang digunakan dalam masa lampau (Harshberger 1896), penggunaan jenis tanaman tertentu oleh berbagai kelompok masyarakat dibandingkan (Bell & Catetter 1937); penyelidikan pertanian tradisional dan makanan dari tanaman liar meningkat (Barrows 1931; Castetter & Bell 1951; Conklin 1954a). Sebentar saja, studi tentang pengetahuan tanaman tradisional mulai memainkan bagian penting dalam perkembangan teori antropologi, dan sementara itu studi hortikultura Tsembaga di New Guinea memberikan kontribusi terhadap ide-ide awal dalam ekologi budaya (Rappaport 1968), analisis nama tanaman dan sistem klasifikasi masyarakat memberikan dasar yang semakin populer mengenai eksplorasi kognisi manusia. (Conklin 1054b; Berlin et al 1973.).

Pada pertengahan tahun 1980-an etnobotani telah menjadi dikenal secara luas di Amerika Serikat, tidak hanya di kalangan akademisi, tetapi juga di mata publik sebagai artikel tentang etnobotani dan analisis polen muncul dalam publikasi yang termuat Majalah Penerbangan Airlines Southwest Mei 1985, dan majalah Forbes bulan Agustus pada tahun yang sama (Bohrer 1986). Pada sekitar saat itu juga, American-based Society of Ethnobiology dibentuk dengan Edisi Pertama Jurnal Ethnobiologinya diterbitkan pada tahun 1981. Hal itu segera diikuti dengan pembentukan International Society of Ethnobiology, sedangkan Society of American Archaeology menyelenggarakan Sidang Umum Pertama Etnobotani pada tahun 1983. Oleh karena itu, ketika dekade akhir abad kedua puluh sudah mendekat, dengan peningkatan pengakuan publik dan akademis, etnobotani akhirnya muncul dari ketidakjelasan relatif dan berdiri siap untuk memasuki tahap baru dalam perkembangannya.

Di luar Amerika

Meskipun penemuan benua Amerika merupakan poin penting dalam evolusi studi ethnobotanical, itu tidak berarti tanda mulainya minat dalam menggunakan tanaman asli. Memang itu merupakan daya tarik terutama rempah-rempah timur yang eksotis seperti kayu manis (Cinnamomum zeylandica) dan lada hitam (Piper nigrum) yang membuat Columbus berlayar melintasi Atlantik.
Etnobotani: Prinsip dan Aplikasi

Tabel 1.6 kontribusi Eropa untuk pengembangan Etnobotani-Palaeoethnobotany Meskipun pada awalnya laporan Ehrenberg tentang fosil Pollen (serbuk sari) mendapat sedikit perhatian pada saat itu, perkembangan Palinologi di Eropa berlangsung dengan cepat dari permulaan abad kedua puluh. Analisis Pollen sekarang merupakan alat yang ampuh yang digunakan oleh palaeoethnobotanists di seluruh dunia.

Tahun
Peristiwa
Sumber
1803

1916



1928-37

1941


1963

1969



1983
Christian Ehrenberg melaporkan adanya fosil serbuk sari terawetkan dalam batuan sedimen.
Lennart von Post menyajikan teori dasar analisis kuantitatif serbuk sari sebagai alat untuk menilai perubahan vegetasi masa lalu (Norwegia).
Fritz Zetzsche dan rekan kerjanya mengidentifikasi sporopollenin (Swiss).
Johannes Iversen menggunakan analisis pollen khusus untuk pertanyaan arkeologi tentang subsistensi prasejarah (Denmark).
Dimbleby menyajikan teknik baru untuk mengukur sampel serbuk sari (Inggris)
Seminar Internasional Utama mengenai domestikasi tanaman dan hewan pertama kali  diselenggarakan di lembaga Arkeologi di London, Inggris.
Symposium Recent Advances in the Understanding of Plant Domestication and Early Agriculture diselenggarakan sebagai bagian dari Kongres Arkeologi Dunia di Southampton, Inggris.
Bryant (1989)

Bryant and Holloway (1983)


Bryant (1989)

Iversen (1941)


Dimbleby (1963)

Ucko and Dimbleby (1969)



Haris and Hillman (1989a)

Fosil serbuk sari terawetkan dalam batuan sedimen - bahkan ia mengusulkan peran potensial fosil tersebut sebagai indikator perubahan lingkungan pada masa lalu. Namun, tidak sampai permulaan 1980-an para ilmuwan mulai melihat bahwa bahan tanaman memang benar-benar diawetkan (Bryant 1989), dan bahkan kemudian banyak minat awal berpusat pada pemulihan dan identifikasi makro-fosil seperti benih, dan fragmen daun dan kayu. Namun beberapa ahli palaeobotani ini mula-mula mulai menyelidiki serbuk sari terawetkan yang ditemukan, dan pada tahun 1916 ahli geologi Norwegia Lennart von Post, mengusulkan teknik baru untuk analisis kuantitatif serbuk sari, yang dapat digunakan sebagai alat untuk mempelajari perubahan vegetasi pada masa lalu (tabel 1.6).
Pada tahun 1937, seorang ahli kimia Swiss, Fritz Zetzsche menemukan sporopollenin, suatu senyawa polimer yang ditemukan pada spora dan serbuk sari, yang memiliki daya tahan yang sangat baik sehingga mikro-fosil ini dapat bertahan selama jutaan tahun, 4 tahun kemudian seorang ahli geologi-Johannes Iversen-adalah yang pertama menerapkan analisis serbuk sari pada studi arkeologi, menentukan sifat dan waktu transformasi dari berburu dan mengumpulkan makanan dari hutan hingga pertanian di situs Barkaer, Denmark Utara (Iversen 1941). Tidak lama kemudian, ahli palinologi lainnya di Eropa dan Amerika Utara mulai menggunakan analisis serbuk sari untuk membantu baik dalam interpretasi data arkeologi maupun eksplorasi efek antropogenik kuno terhadap vegetasi (Dimbleby 1963). Sejak itu, metode palinological telah terus-menerus disempurnakan dan analisis polen sekarang merupakan alat yang sangat kuat dalam studi palaeoethnobotanical.

Tidak ada komentar:

Pengikut