Papan Buletin Blog Bhima

Bhima's Leaf

Jumat, 24 Desember 2010

GAMBARAN UMUM MASYARAKAT DAYAK DI SEKITAR TN KAYANG MENTARANG

Kelompok I :
  1. Abdul Tasyfin
  2. Agus Supriadi
  3. Anik Sugiarti
  4. Dedi Harmoko

GAMBARAN UMUM MASYARAKAT DAYAK
DI SEKITAR TN KAYANG MENTARANG

Di sekitar Taman Nasional (TN) Kayan Mentarang di Kabupaten Malinau dan Nunukan, Kalimantan Timur, ada sekitar 25.000 penduduk yang dikenal sebagai Orang Dayak. Orang Dayak di sekitar TN Kayan Mentarang ini terdiri dari berbagai subsuku Dayak antara lain: Kayan, Kenyah, Lundayeh, Merap, Punan, Saben, Tagel, dan lain-lain. Mereka adalah pengelola hutan yang bijak, yang telah mengelola hutan selama berabad-abad tanpa menimbulkan kemusnahan hutan, sehingga sampai sekarang kawasan hutan seluas 1,4 juta ha yang ditetapkan sebagai TN Kayan Mentarang masih utuh.
Sistem pengelolaan yang diterapkan secara turun-temurun mewariskan hutan utuh yang dapat dinikmati oleh anak cucu mereka pada generasi sekarang. Hampir seluruh hidup orang Dayak di sekitar TN Kayan Mentarang tergantung pada hutan. Kehidupan masyarakat tidak dapat dipisahkan dengan hutan. Mereka memenuhi hampir semua kebutuhan pokoknya dari dalam hutan. Tradisi dan budaya masyarakat Dayak sangat berkaitan dengan hutan. Bahkan nama-nama orang Dayak diambil dari nama-nama binatang maupun tumbuh-tumbuhan di hutan. Mereka mencari nafkah dengan cara menirukan kehidupan binatang untuk mengelabui binatang buruannya di hutan.
Kehidupan masyarakat asli yang sangat tergantung pada hutan itu sekarang terancam oleh persaingan lahan dan konflik atas hutan untuk berbagai kepentingan pembangunan. Pemanfaatan lahan di bidang pertambangan, eksploitasi hutan atau penebangan kayu, perkebunan intensif, dan lain-lain telah menghasilkan devisa bagi negara. Politik pembangunan telah merugikan hak-hak adat dan pengelolaan secara lokal baik di bidang ekonomi, maupun sosial dan budaya yang mengakibatkan cepatnya sistem dan pola kehidupan masyarakat adat hancur. Hak-hak masyarakat adat dikorbankan untuk pembangunan yang terutama dinikmati kaum elit.


MANFAAT/NILAI HUTAN BAGI MASYARAKAT DAYAK

A. Hutan merupakan sumber kebutuhan pokok dan ekonomi masyarakat dayak
  1. Hutan Sebagai Sumber Bahan Makanan : di hutan diperoleh protein dari berbagai jenis binatang, serangga dan ikan; karbohidrat dari berbagai jenis palem dan umbi-umbian; vitamin dari sayur dan buah-buahan; bumbu untuk masakan sehari-hari.
  2. Hutan Sebagai Sumber Obat-obatan : di hutan diperoleh obat-obatan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan, binatang, dan serangga.
  3. Hutan Sebagai Sumber Bahan Bangunan dan Perahu : Kayu-kayu digunakan untuk bahan bangunan rumah dan untuk membuat perahu sebagai alat transportasi.
  4. Hutan Sebagai Sumber Pendapatan Uang Tunai : Pendapatan dari kayu gaharu (Aquilaria spp.) dan kayu manis (Cinnamomum burmanni) sebagai sumber pendapatan utama; Penjualan hasil hutan selain gaharu dan kayu manis (rotan, kayu, getah dan buah-buahan); Penjualan hasil hutan berupa barang-barang hasil olahan (tikar, topi, tas rotan, arak, sumpit, sambe’, ki’ba, dll).
  5. Hutan sebagai Sumber Bahan Baku untuk Perlengkapan Kebutuhan Sehari-hari : Hutan merupakan sumber untuk memperoleh kayu bakar, getah parang Ketipai (Palaquium quercifolium) untuk kebutuhan sehari-hari, tumbuh-tumbuhan untuk membuat sumpit (alat berburu), bambu dan rotan untuk membuat alat-alat perlengkapan kerja, tali dan bahan pengikat, daun untuk pembungkus makanan, atap dan kerajinan, damar untuk dempul perahu dan penerangan pengganti minyak tanah.
B. Hutan merupakan Kebutuhan Masyarakat Dayak Secara Langsung dan Tidak Langsung
1.      Ketergantungan masyarakat dayak terhadap hutan untuk memulihkan kesuburan tanah. Digunakan terutama untuk lahan menanam padi. Sistem yang digunakan adalah perladangan berpindah, tetapi pada suatu saat kembali lagi ke ladang awal.
2.      Ketergantungan masyarakat dayak terhadap hutan sebagai perlindungan sumber air : untuk kebutuhan air bersih (minum, mandi, dan mencuci), sawah, kolam ikan, dan Pembangkit Listrik Tenaga Air (penerangan, TV, radio, dinamo mesin penggiling padi, mengetam kayu, dsb).
3.      Ketergantungan masyarakat dayak terhadap hutan sebagai sumber genetik bibit tumbuhan atau binatang. Masyarakat Dayak memanfaatkan tumbuhan dan hewan yang memiliki sifat-sifat bagus untuk dikembangbiakkan.
4.      Ketergantungan masyarakat dayak terhadap ekosistem hutan sebagai hubungan yang saling terkait : Sungan (tempat minum hewan) dan Ketina Ba’bui (kubangan) untuk tempat berburu; Hubungan babi dan duk (sejenis kera) dimanfaatkan untuk berburu; Hubungan babi dan lebah dalam perpindahan dimanfaatkan untuk berburu ba’bui satung (musim babi berenang); Kupu-kupu digunakan sebagai tanda musim berburu ba’bui satung; Hubungan antara ikan dengan pohon dimanfaatkan saat menjala; Musim dingin digunakan sebagai tanda untuk menangkap atuk pale’ (ikan bertelur dan berkumpul).

KAITAN ANTARA ASPEK SOSIAL BUDAYA (ADAT) DENGAN HUTAN

A.  Pengetahuan dan Keterampilan untuk Memanfaatkan Hutan dan Mengelola Hutan
  1. Di hutan tempat mewariskan ilmu pengetahuan tradisional. Di hutan orang tua mengajar anak-anaknya tentang tumbuh-tumbuhan yang bias dimakan, obat-obatan, tumbuhan beracun, bagaimana mengenal ciri-cirinya, apa namanya, dan bagaimana memanfaatkannya serta mengajarkan anak-anaknya berburu, menembak dengan menggunakan hembusan angin dari mulut melalui pipa pembuluh, menjala, pasang pukat, dan lain-lain.
  2. Keterampilan orang dayak dalam berbagai cara berburu dan menangkap ikan : minjung, mabang sungan, mabang burung teba’un dan temenggang, mabang satung, menjerat binatang dengan peru, labak dan siang, ngeduk, memanggil kijang, menangkap ikan dengan sikep, pancing, jala, dan pukat, menangkap ikan dengan bubu dan bading, nyelapang atuk.
  3. Keterampilan orang dayak dalam mengelola hutan. Setiap pemanfaatan hutan harus patuh pada ketentuan adat.
B.  Hutan sebagai Tempat untuk Mengambil Bahan-Bahan Upacara dan Kebudayaan
  1. Bahan Upacara. Misalnya, upacara untuk mengusir makhluk halus digunakan beberapa tumbuhan dari hutan, upacara melaki (hasil hutan tertentu dilarang diambil), upacara belian (penyembuhan), dsb.
  2. Bahan Kebudayaan. Misalnya, topi yang terbuat dari tumbuhan dan bulu burung, baju dari kulit kayu, pewarna alami, dan sebagainya.
  3. Tari-tarian dan Lagu-lagu Meniru Kehidupan di Hutan. Tari-tarian untuk perempuan biasanya tarian meniru burung tertentu, sedangkan untuk laki-laki tarian berupa tari berburu atau menjala.
C.  Simbol Status Sosial dan Nama-Nama Orang Dayak Mengambil Contoh dari Hutan
  1. Simbol Status Sosial. Orang bangsawan menggunakan simbol yang berbeda dengan orang biasa. Simbol dapat berupa hewan atau tumbuhan, seperti burung atau bunga.
  2. Nama-nama orang dayak diambil dari nama binatang dan tumbuhan berdasarkan status sosial. Nama bangsawan menggunakan nama untuk laki-laki: Kule, Lenjau, Bilung, Baya’; dan untuk perempuan: Ba’un, Kirip, Suling dan lain-lain. Untuk orang biasa digunakan nama untuk laki-laki: Njuk, Ipo’, Sa1o’; dan untuk perempuan: U1em, Limbang, Udang, Ku1at, dan lain-lain.
D.   Hutan sebagai Tempat Berteduh dan Mencari Hiburan
Di hutan orang Dayak merasa tenang dan nyaman serta merasa lebih dekat dengan Tuhan. Di dalam hutan pikiran mereka terhibur mendengar suara alam, kicau burung dan gemercik sungai. Di kala mereka merasa jenuh dengan pekerjaan di ladang maupun di rumah maka mereka masuk ke hutan untuk mencari hiburan.

HAL-HAL LAIN YANG MENARIK

  1. Sifat hukum adat yang tidak statis dibuat dengan sistem penyesuaian dengan keadaan baru. Peraturan adat yang dibuat di hulu sungai bahau selalu ditinjau kembali setiap tahunnya pada waktu Pesta Panen Gabungan dan Musyawarah Adat Besar Hulu Sungai Bahau. Aturan yang lama disempurnakan dengan cara menambah atau mengurangi pasal-pasal yang telah ada, sehingga selalu dapat menyesuaikan dengan perkembangan jaman.
  2. Hukum Adat Terhadap Hutan. Setiap desa memiliki aturan pemanfaatan dan pengelolaan hutan. Aturan ini pada dasarnya adalah untuk mencegah konflik mengenai berbagai kepentingan dalam masyarakat. Ada aturan untuk pemanfaatan binatang, kayu-kayu, dan batas ladang, serta kepemilikan Jekkau (bekas-bekas ladang).
  3. Tana’ Ulen di hulu Bahau. Tana’ Ulen adalah suatu kawasan hutan rimba yang dilindungi secara adat. Di dalam wilayah Tana’ Ulen orang dilarang menebang pohon, membakar hutan, membuat ladang, dan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan. Pengambilan hasil hutan di dalam Tana’ Ulen diatur hanya untuk memanfaatkan beberapa jenis hasil hutan tertentu saja. Berbagai aturan dibuat untuk mencegah konflik dari dalam wilayah desa dan wilayah adat maupun konflik dari luar.
  4. Sanksi-sanksi terhadap pelanggaran hukum adat diberikan dalam bentuk barang atau uang.
  5. Pengakuan hutan adat berdasarkan Undang-Undang Negara. Sebagian masyarakat di Sungai Bahau tahu tanahnya adaIah tanah milik negara (menurut pemerintah) karena sudah status Taman Nasionai, tetapi tidak semuanya setuju dengan status ini. Masih belum jelas apakah mereka mau terapkan hukum "hutan adat" yang baru dengan arti bahwa Tana’ Ulen sebetulnya tanah negara, atau apakah mereka ingin menuntut status Iain. Di samping ini, belum jelas juga apakah pemerintah Kabupaten Malinau ingin terapkan hukum tersebut di TN Kayan Mentarang.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Kayan Mentarang... bukan Kayang...

Terimakasih..

Pengikut