Papan Buletin Blog Bhima

Bhima's Leaf

Minggu, 28 Agustus 2011

Berkorban demi Badak Jawa


WWF/TNUKInduk badak dan anakan jantan yang terekam kamera video jebak yang dipasang di Taman Nasional Ujung Kulon.
Sebelum Taman Nasional Ujung Kulon ditetapkan, Sarija (66), warga Ujung Jaya, Kecamatan Sumur, lebih dulu menggarap lahan itu sebagai kebun. Ia dan ratusan warga desa tersebut telah berdiam di sana sejak lama dan terbiasa hidup berdampingan dengan badak jawa.
Sarija cukup terkenal di dunia perbadakan Ujung Kulon. Ia adalah warga lokal yang menjadi pemandu utama fotografer satwa liar Alain Compost saat berburu gambar di Ujung Kulon tahun 2001.
Perjalanan memasuki hutan selama berhari-hari dan penggunaan perahu kedap suara membuahkan hasil jepretan yang legendaris. Compost mendapatkan foto badak jawa (Rhinoceros sondaicus) sedang mandi di sungai. Sebuah adegan yang sangat jarang terekam.
Kini, lelaki beranak dua itu hanya duduk terpaku saat ekskavator meratakan lahan garapannya yang ditanami kelapa dan mangga untuk dibangun pagar beraliran listrik.
Tetangga Sarija, Arman (70), juga kehilangan sebagian lahan garapan yang ditanami jagung. Ekskavator itu menerabas ladangnya yang akan dijadikan lahan konservasi badak berupa semacam "kandang".
Proyek pembuatan kandang yang disebut Javan Rhino Study and Conservation Area (JRSCA) itu dimulai 20 Juni 2011. Proyek bermula dari Pos Cilintang menuju Aermokla sejauh 5 kilometer melintasi kebun warga dan hutan.
Masyarakat berkorban
Eko Cahyono, aktivis Sajogyo Institute (Sains), menuturkan, masyarakat lokal banyak yang tinggal bertautan dengan areal Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK). Dari sekitar 261,61 hektar lahan garapan masyarakat, sekitar 110 hektar di antaranya di Kampung Legon Pakis, Ujung Jaya, terserobot proyek itu. Lahan tersebut selama ini ditanami padi, kelapa, kopi, petai, melinjo, jengkol, dan mahoni.
Itu baru dari satu desa. Di sebelah timur TNUK, sekitar Gunung Honje, ada 15 desa di sekitar kawasan konservasi. Lahan mereka masih tumpang tindih dengan areal TNUK, yang diklaim memiliki luas 78.169 hektar daratan dan 44.337 hektar lautan. Namun, proyek JRSCA seluas 3.000 hektar-4.000 hektar tersebut hanya bersentuhan dengan Desa Ujung Jaya.
Konservasi badak
Proyek JRSCA muncul karena badak jawa termasuk mamalia besar yang dilindungi dan langka. Fauna yang memakan pucuk daun (bukan rumput seperti badak india atau badak afrika) itu termasuk kategori daftar merah pada International Union for Conservation of Nature (IUCN), yakni satwa yang sangat terancam punah. Selain itu, masuk daftar Apendiks I CITES (sangat dilindungi).
Badak jawa ini pernah ada di seluruh Pulau Jawa, Sumatera, hingga Indochina. Di Vietnam, jumlahnya tinggal 8 ekor dan berada di Cagar Alam Cat Loc, berdekatan dengan Taman Nasional Cat Tien. Di Indonesia, menurut data Kementerian Kehutanan, selama 30 tahun terakhir jumlahnya hanya 50 ekor hingga 60 ekor. Namun, pengamatan WWF Indonesia menggunakan kamera tersembunyi hanya menangkap gambar 29 badak jawa di TNUK.
Selain badak jawa, di TNUK berdiam sekitar 500 ekor banteng jawa (Bos javanicus), macan tutul (Panthera pardus), owa (Hylobates moloch), rusa (Cervus timorensis), kijang (Muntiacus muntjak), kancil (Tragulus javanicus), jelarang (Ratufa bicolor), dan ajag (Cuon alpinus). Ini membuat kawasan konservasi di ujung barat Pulau Jawa tersebut—bersama Cagar Alam Krakatau—ditetapkan sebagai Situs Warisan Alam Dunia yang ditetapkan UNESCO pada tahun 1991.
Hampir seluruh perhatian pencinta mamalia kini tertuju pada badak jawa yang sudah sulit dilihat secara langsung. Saat memasuki hutan, biasanya orang hanya menjumpai jejak kaki, kotoran, bekas makanan, serta kubangan hewan yang berbobot 900 kilogram-2.300 kilogram dan panjang 2 meter-4 meter serta tinggi 1,5 meter tersebut.
"Badak itu pemalu dan memiliki penciuman serta pendengaran yang tajam. Mereka akan menghindar ketika radarnya menangkap keberadaan manusia," kata Marcellus Adi, dokter hewan yang 20 tahun aktif dalam konservasi badak.
Sulitnya badak dijumpai menjadi salah satu alasan pembangunan JRSCA. International Rhino Foundation, Yayasan Badak Indonesia, dan Balai TNUK sedang membangun JRSCA dengan pertimbangan untuk memudahkan pengamatan demi peningkatan populasi badak jawa.
Dibagi tiga
JRSCA dibangun di tengah kawasan TNUK dengan batas laut di sisi utara dan selatan. Adapun di timur dari Cilintang menuju Aermokla dibangun pagar beraliran listrik sepanjang 20 kilometer, demikian pula di barat dari Pos Laban menuju Karang Ranjang sejauh 2 kilometer. Pagar JRSCA membagi TNUK menjadi tiga bagian, Semenanjung Ujung Kulon, JRSCA, dan Gunung Honje.
Guru Besar Ekologi Satwa Liar dari Institut Pertanian Bogor Hadi S Alikodra mengingatkan, pemagaran bisa menjadi bumerang. Hal itu karena maksud hati ingin meningkatkan jumlah badak, tetapi badak dan hewan lain bisa mati karena areal jelajahnya dibatasi. Kebiasaan fauna makan di suatu lokasi akan terhambat oleh pagar beraliran listrik sehingga mereka akan kelaparan.
Pemilik proyek ini, Yayasan Badak Indonesia, melalui ketuanya, Widodo Sukohadi Ramono, meyakini bahwa pembangunan JRSCA bisa meningkatkan jumlah badak. Ia menyebutkan tiga faktor bisa diatasi dengan pembuatan JRSCA, di antaranya adalah mencegah penyakit akibat penularan kerbau kepada badak serta menghilangkan langkap (palem-paleman yang menjadi gulma dan mengurangi persediaan makan).
Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Kementerian Kehutanan Darori mengatakan bahwa pembangunan JRSCA bertujuan meningkatkan populasi badak jawa yang populasinya minus 0,7 persen setiap tahun.
Berdasarkan camera trap tahun 2011, hanya ditemukan 19 badak jawa yang terdiri dari 16 badak jantan dan 3 badak betina. "Harapan kami, dengan dilaksanakannya program JRSCA ini, populasi badak jawa tidak akan punah dan justru akan bertambah," kata Darori.
Pemerintah rupanya mengambil pelajaran berharga dalam konservasi harimau bali dan harimau jawa yang musnah karena sebelumnya tidak dilakukan upaya konservasi secara serius dan intensif.
Upaya konservasi badak jawa tentu saja pantas didukung. Meski demikian, langkah yang dilakukan harus tepat dan efektif serta melalui kajian yang mendalam agar bisa meningkatkan populasi badak jawa. Jangan sampai pengorbanan yang sudah diberikan masyarakat serta pengorbanan TNUK tidak sesuai dengan harapan. Kini, harapan tinggal digantungkan kepada mereka. (Ichwan Susanto)

http://sains.kompas.com/read/2011/08/05/08073220/Berkorban.demi.Badak.Jawa

Tidak ada komentar:

Pengikut