PERSPEKTIF BUDAYA PENCEMARAN SUNGAI
OLEH : IRFAN PASARIBU (A1C407007)
Tugas Ekologi Umum
Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirta Mayang Kota Jambi memasuki tahun 2009 mengalami krisis air, sebab sejak awal tahun produksi air PDAM mengalami penurunan produksi hingga 20 persen. Kepala PDAM Tirta Mayang Kota Jambi Agus Sunara ketika ditemui di Jambi, Senin, menjelaskan, penurunan produksi tersebut disebabkan oleh beberapa hal, di antaranya, sedimentasi atau pendangkalan selama empat tahun terakhir di Sungai Batanghari sebagai satu-satunya sumber air di Kota Jambi. Faktor lain yaitu, tingkat kekeruhan air Sungai Batanghari yang terus meningkat selama empat tahun terakhir, bahkan, sejak tahun 2008 tingkat kekeruhan telah mencapai angka 900 NTU. Padahal batas kemampuan instalasi pengelohan air di Kota Jambi hanya mencapai 300 NTU, kekeruhan tersebut mengakibatkan tingkat kerusakan terhadap mesin pengolah air meningkat sehingga biaya operasional juga menjadi meningkat. (http://www.kapanlagi.com)
KUALATUNGKAL – Beroperasinya sejumlah pabrik membawa dampak buruk bagi lingkungan. Salah satunya pencemaran air Sungai. Indikasi kuat yang ditemukan warga, di antaranya, ikan yang mati sendiri dan bau tak sedap dari air Sungai setiap kali turun hujan. Selain itu, warga MUAROBUNGO, Tanjung Gedang, Jambi, kini tak lagi nyaman mandi di sungai. Pasalnya, akibat tercemarnya air di hulu Sungai Batangbungo, bila sehabis mandi badan mereka terasa gatal. Sungai yang menjadi satu-satunya sumber kehidupan warga tersebut kondisinya juga keruh. Tidak hanya masalah kesehatan. Mata percaharian mereka turut terusik. Budi daya ikan kerambah yang menjadi gantungan hidup warga, belakangan hasil produksinya menyusut drastis. (http://www.jambi-independent.co.id)
Di daerah Kenali Asam Bawah, Jambi, secara tiba-tiba air sumur yang setiap hari digunakan warga untuk mandi, minum, dan berbagai keperluan hidup, warnanya berubah. Bahkan air yang digunakan untuk minum pun telah terkontaminasi minyak mentah hal ini diduga karena Aksi pengeboran minyak bumi yang dilakukan perusahaan Joint Operating Body (JOB) Pertamina-Gulf Resources. (http://berita.liputan6.com)
Pencemaran Sungai Batanghari menjadi dampak buruk untuk masyarakat ternyata “tidak terlalu dipermasalahkan”. Buktinya tidak ada tanggapan yang serius dari masyarakat Jambi, terutama yang tinggal di daerah aliran sungai. Mereka hanya diam dan pasrah terhadap keadaan yang ada, walaupun ada dari beberapa dari mereka yang merespon mengenai permasalahn ini, tetapi mereka merasa kurang mampu untuk melawan keterpurukannya. Pemberitaan hanya menjadi nyanyian para penyiar berita yang sekedar lewat di telinga pendengarnya, atau hanya sebagai tulisan kosong belaka yang terlihat oleh pembacanya. Mereka yang tahu dengan keadaan ini semestinya protes keras untuk penyelesaiannya. Barangkali, inilah salah satu bentuk sikap budaya masyarakat yang sudah biasa dirugikan kepentingannya, sehingga ketika mereka tenggelam sebatas leher pun tetap tidak protes karena air yang menggenangi mereka memang belum masuk ke lubang hidung.
Sikap budaya suatu masyarakat akan terbentuk manakala suatu hal terjadi secara terus-menerus, menjadi kebiasaan, dan tidak menimbulkan gejolak berarti untuk menjadi perubahan. Demikian pula soal pencemaran sungai, terjadi berulang-ulang, tidak pernah ada penyelesaian, sehingga masyarakat menjadi abai untuk memikirkannya. Seringkali orang tidak menganggap penting suatu permasalahan selama akibat yang dirasakan bukan terjadi pada saat itu juga. Untuk kasus-kasus lingkungan pada umumnya memang baru terasa justru ketika akibatnya sudah menjadi terlamabat untuk mengatasinya.
Hal yang lebih parah, ketika sudah diketahui akibatnya pun, masih saja terus berlangsung proses perusakan lingkungan, karena pihak yang merusak bukan pihak yang merasakan akibatnya. Atau perusakan tetap dilakukan karena akibatnya ditanggung secara bersama-sama oleh semua orang, bukan hanya pihak yang merusak saja. Misalkan banjir yang terjadi di Kota Jambi ketika musim penghujan. Setiap tahun perkembangan wilayah yang mengalami banjir bukannya malah berkurang tetapi malah bertambah. Hal ini tidak mampu menyadarkan masyarakat yang membuang sampah pada saluran air, sehingga saluran air semakin banyak yang tersumbat dan airpun meluap ke permukiman masyarakat.
Salah satu contoh pasar yang menyumbang penghasil limbah dengan kapasitas yang cukup besar adalah pasar Angso Duo Jambi yang memang letak atau posisi pasar langsung berbatasan dengan pinggiran sungai batang hari. Angso Duo merupakan pasar tradisional terbesar dan tertua di kota Jambi. Setiap harinya terjadi aktifitas perdagangan. Dari aktifitas perdagangan itu menimbulkan berbagai kotoran. Dimana kotoran tersebut menjadi sumber pencemaran di sekitar lingkungan. Sumber pencemaran itulah yang menjadi limbah yang pada dasarnya tidak hanya mengganggu pemandangan lingkungan sekitar sungai Batanghari serta mengganggu kesehatan.
Sumber pencemar dapat dibedakan menjadi sumber domestik (rumah tangga), yaitu dari perkampungan, kota, pasar, jalan, terminal, rumah sakit, dan sebagainya, serta sumber non-domestik, yaitu dari pabrik, industri, pertanian, peternakan, perikanan, transportasi, dan sumber-sumber lainya. Limbah domestik adalah semua limbah yang berasal dari kamar mandi, WC, dapur, tempat cuci pakaian, apotek, rumah sakit, dan sebagainya, yang secara kuatitatif limbah tadi terdiri atas zat organik, baik padat ataupun cair, bahan berbahaya dan beracun (B3), garam terlarut, lemak dan bakteri. Limbah non-domestik sangat bervariasi, lebih-lebih untuk limbah industri. Limbah pertanian biasanya terdiri atas bahan padat bekas tanaman yang bersifat organik, pestisida, bahan pupuk yang mengandung Nitrogen, dan sebagainya. (Jambi Ekspres)
Sikap budaya yang berikutnya, masyarakat selama ini masih belum menghargai apa yang disebut sebagai milik umum. Logikanya, kalau sesuatu disebut “milik umum” berarti milik semua orang. Kebanyakan masyarakat menganggap milik umum berarti “milik orang banyak, bukan milik siapa-siapa”. Yang artinya siapa saja boleh memperlakukan dengan seenaknya tanpa ada kewajiban untuk memeliharanya. Seperti yang dicontohkan dalam tulisan ini adalah sungai, mereka yang berpikiran seperti itu, dengan sikap yang tidak peduli seenak-enaknya saja memperlakukan sungai, entah itu membuang sampah ataupun limbah ke sungai, karena bagi mereka sungai tempat pembuangan yang aman dan tidak terlalu repot. Padahal dampak yang lebih buruk bisa terjadi bila pembuangan sampah atau limbah yang semena-mena dilakukan di sungai. Yang tepat dan benar adalah buang sampah pada tempatnya dan limbah diolah sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku untuk pabrik-pabrik industri.
Secara sempit, pencemaran Sungai Batanghari terjadi karena pembuangan limbah pabrik yang belum dinetralisasi. Namun pencemaran domestic seperti limbah rumah tangga bukan berarti lebih kecil dibanding pencemaran limbah industri pabrik. Limbah pabrik justru banyak menyumbang zat aditif di banding limbah domestic, karena banyak pabrik industri yang limbahnya tidak diolah dengan netralisasi mengandung mercuri yang memang bisa dibilang tidak bisa terurai.
Budaya? Lagi-lagi mengenai budaya, memang untuk membuat masyarakat menjadi tanggap terhadap lingkungan sangat sulit, apalagi untuk masyarakat yang memang sering mencemari lingkungannya sendiri. Oleh karena itu sebaiknya diperlukan pemantauan yang signifikan oleh dinas terkait mengenai pencemaran ini. Bagaimanapun pencemaran sungai harus dihentikan. Tidakkah kita sadar akan kepentingan air bersih dalam kehidupan kita, bagaimana kalau sumber air bersih itu hilang? Kemana kita akan mencari sumber air lain? Maukah kita menjadi orang-orang yang menempuh jarak puluhan Kilometer hanya untuk memperoleh air bersih? Penyakit apa lagi yang akan timbul akibat pencemaran ini? Itu wajib dipertanyakan bagi diri kita.
Memberi sosialisasi mengenai kebersihan lingkungan dan aturan hukum yang melandasi mengenai pencemaran lingkungan akan sedikit membantu, bila yang menjadi sasaran utama adalah masyarakat dan para pedagang yang berada dipinggiran sungai. Karena setiap hari mereka berbaur dengan faktor-faktor pencemaran. Selain itu, memberi peringatan keras terhadap pengelola pabrik yang membuang limbah pabrik ke aliran sungai maupun tempat-tempat umum akn memeberikan dampak baik pada perkembangan kebersihan lingkungan. Karena bila tidak di beri ketegasan mereka akan merajalela untuk membuang limbah seenaknya.
Mulai sekarang budayakan hidup bersih, hindari, kurangi atau hentikan segala sesuatu yang menyangkut pencemaran baik pencemaran air, udara, maupun tanah. Jangan sampai anak cucu kita menjadi orang-orang yang kesusahan untuk memperoleh air bersih. Kelangsungan kehidupan sejahtera mereka ada di tangan kita semua.
DAFTAR PUSTAKA
(Tidak dipublikasikan, hanya ditampilkan dalam draft asli dokumen pribadi penulis)
1 komentar:
berkunjung... dan bisakah anda follow blog saya?
Posting Komentar