Papan Buletin Blog Bhima

Bhima's Leaf

Jumat, 08 Oktober 2010

MAKALAH OSN-PTI

MAKALAH OLIMPIADE (OSN-PTI)
SOAL OPEN ENDED 9 BESAR TINGKAT PROVINSI BIDANG BIOLOGI
"Indonesia Sentral Bioenergi Dunia"

OLEH:
BHIMA WIBAWA SANTOSO
A1C407003
FKIP-MIPA-BIOLOGI
UNIVERSITAS JAMBI
7 OKTOBER 2010



BAB I
PENDAHULUAN

1.1                       LATAR BELAKANG
Sekitar tahun 1970-an, telah terjadi krisis energi dunia. Pada saat itu muncul gagasan mengenai energi alternatif. Berbagai solusi diupayakan saat itu untuk mengantisipasi ketersediaan bahan bakar minyak yang merupakan energi dengan jumlah yang terbatas di dunia. Gagasan pun dikemukakan untuk beraliih pada bioenergi yang merupakan energy alternatif pengganti bahan bakar minyak yang dianggap sebagai penyelamat dunia karena karakternya yang non polutif dan dapat diperbaharui.
Seiring dengan semakin berubahnya lingkungan bumi yang kian lama rusak akibat udara kotor sisa pembakaran yang mengakibatkan polusi, sehingga akhirnya menuntut munculnya sebuah perjanjian dalam Protokol Kyoto sebagai sarana bagi Negara-negara maju untuk turut memecahkan masalah lingkungan akibat dampak dari emisi gas buang bahan bakar minyak
Pemanfaatan bioenergi sebagai energi alternatif pengganti bahan bakar minyak pernah dilakukan Amerika Serikat dengan mengucurkan proyek raksasa. Ketika itu pada tahun 2006 presiden G.W. Bush membuat proposal untuk mengganti 30% penggunaan bahan bakar dengan Bioenergi. Saat itu jagung kian marak diproduksi menjadi bioenergi.
Selama ini bioenergi diposisikan sebagai energi alternatif. Posisi alternatif terkesan tidak penting dan hanya berguna pada saat keadaan darurat saja. Mengingat semakin langkanya energy yang berasal dari fosil yang tak terbarukan (Unrenewable Energy) maka istilah tersebut akan bergeser. Pada saatnya nanti bioenergi akan menjadi energi utama, bukan sekedar energi alternatif. Tidak lama lagi dunia akan mengalami krisis energy. Menurut Energi Information Administration yang merupakan bagian dari Departemen Energi AS (International Energy Outlook  dalam Anonim,2009) memperkirakan dalam rentang waktu 23 tahun, yakni dari tahun 2002 sampai dengan tahun 2025 terjadi peningkatan konsumsi minyak dunia yang fantastis, sebesar 57% (Kompas, 20 Agustus 2005:37 dalam Anonim 2009). Kenaikan tersebut terdistribusikan sebagai berikut:
Konsumsi Energi Dunia 1990-2025 (Dalam Kuadriliun Thermal Unit)
Kawasan
1990
2002
2015
2025
Petumbuhan
1990-2002
2002-2025
Negara maju
183,6
213,5
247,3
271,8
1,3
1,1
Perekonomian dalam transisi
76,2
53,6
68,4
77,7
-2,9
1,6
Negara sedang berkembang
88,4
144,3
237,8
295,1
4,2
3,2
Asia
51,5
88,4
155,8
196,7
4,6
3,5
Timur Tengah
13,1
22,0
32,4
38,9
4,4
2,5
Afrika
9,3
12,7
19,3
23,4
2,7
2,7
Amerika Tengah dan Selatan
14,5
21,2
30,4
36,1
3,2
2,3
Total Dunia
348,2
411,5
553,5
644,4
1,4
2,0
Sumber: Kompas, 20 Agustus 2005
Dengan peningkatan konsumsi seperti tabel diatas, maka dalam kurun waktu 36,5 tahun (sejak tahun 2002), maka cadangan minyak akan habis.
Indonesia dengan kekayaan alamnya yang melimpah, mempunyai potensi untuk menjadi lumbung bioenergi dunia. Potensi yang benar-benar tidak dapat diabaikan adalah tersedianya lahan yang luas untuk membudidayakan tanaman-tanaman potensial sebagai sumber bahan baku bioenergi. Disini yang dimaksud bioenergi telah termasuk pemanfaatan biomassa, bioetanol, biodiesel, dan biogas sebagai bahan sumber energi alternatif.
Pemerintah Indonesia menyadari betul akan adanya krisis energi. Kesadaran tersebut dapat dicermati dengan ditetapkannya Instruksi Presiden (Inpres) nomor 1 tahun 2006 tentang penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabati sebagai bahan bakar lain, dan denagn dikeluarkannya Peraturan Presiden (Perpres) nomor 5 tahun 2006 tentang kebijaksanaan energi nasional. Baik Inpres maupun Perpres tersebut pada dasarnya menekankan kepentingan bioenergi.
1.2              TUJUAN
Menghadapi krisis energi tersebut, setidaknya timbul suatu penekanan untuk mewacanakan pentingnya dibangun sebuah “Kebun Energi” sebagai sentral penghasil bioenergi. Menilik bahwa Indonesia merupakan Negara yang luas, dengan struktur banyaknya area kekayaan natural di berbagai kepulauan yang belum intensif tergarap seutuhnya, khususnya daerah pedesaan, sementara di lain sisi di daerah perkotaan tidak ada lagi celah untuk pengembangan bioenergi ini, maka untuk mengoptimalkan ketepatgunaannya di lahan pedesaan adalah dengan pengembangan pusat bioenergi di pedesaan (Meliputi: Biomassa, biodiesel, bioetanol, dan biogas).
1.3              MANFAAT
Dengan bergeraknya aspek di bidang bioenergi, tentunya selain bertujuan untuk mengantisipasi krisis energi di kemudian hari. Di lain aspek dapat menjadi potensi pengembangan bisnis bioenergi pedesaan di Indonesia yang tentunya menguntungkan masyarakat di pedesaan pula, sehingga segala aspek dapat dikelola dengan baik, dengan tidak merubah kondisi apapun baik sumber daya hayati maupun hewani yang dihasilkannya dengan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup sekaligus turut menyumbang peran dalam menghasilkan bahan mentah bioenergi dan bahkan bisa berproduksi dalam skala makro, sehingga akhirnya yang dihasilkan bukan hanya devisa namun juga keuntungan dari berbagai sisi, baik itu perubahan struktur ekonomi, kemajuan teknologi, dan pengembangan sumber daya yang lebih maksimal terkelola.




BAB II
STUDI PUSTAKA

Sebagai negara agraris, pertanian Indonesia mempekerjakan angkatan kerja terbanyak (sekitar 44%) dibandingkan sektor lain. Usaha pertanian merupakan usaha yang sangat potensial untuk dikembangkan di Indonesia karena Indonesia memiliki potensi sumber daya lahan, agroklimat dan sumber daya manusia yang memadai. Kondisi iklim tropis dengan curah hujan yang cukup, ketersediaan lahan yang masih luas, serta telah berkembangnya teknologi optimalisasi produksi dapat mendukung kelayakan pengembangan usaha agribisnis. Terjadinya krisis energi, khususnya bahan bakar minyak (BBM) yang diinduksi oleh meningkatnya harga BBM dunia telah membuat Indonesia perlu mencari sumber-sumber bahan bakar alternatif yang mungkin dikembangkan di Indonesia. Penggunaan sumber energi nabati (bioenergi) merupakan pilihan yang paling tepat, mengingat kondisi lahan, agroklimat dan sebagian besar penduduknya bertumpu pada pertanian. Pengembangan bioenergi ini disamping dalam rangka upaya diversifikasi pengelolaan hasil pertanian, juga menunjang diversifikasi energi dalam mengatasi krisis energi (Atmojo,2005).
Masalah energi merupakan masalah yang sangat sensitif saat ini. Kenaikan harga BBM menimbulkan dampak yang sangat luas dimasyarakat, karena merupakan suatu kebutuhan dasar manusia sehingga ketersediaannya sangat diperlukan. Ketergantungan masyarakat terhadap minyak bumi sangatlah besar, baik untuk kebutuhan rumah tangga, transportasi, industri maupun sebagai sumberenergi lainnya. Kebutuhan masyarakan akan minyak bumi menempati proporsi terbesar sebagai sumber energi penduduk, yakni mencapai 54,4 %, disusul gas bumi 26,5 persen. Konsekuensinya beban anggaran yang memberatkan negara karena biaya subsidi harus terus diluncurkan untuk mempertahankan harga jual yang terjangkau oleh konsumen. Pencabutan subsidi BBM yang diimbangi dana kompensasi sampai saat ini belum nyata dirasakan oleh masyarakat. Pemberian subsidi langsung tunai ((PSL) pada masyarakat ternyata tidak bisa menyelesaikan masalah, bahkan banyak terjadi ketidakpuasan bagi masyarakat.  Penggunaan BBM sudah mengikat masyarakat sedemikian eratnya sehingga terus dicari dan diburu kendati harganya selalu melambung tinggi. Sebenarnya bahan bakar fosil, berbasis dari BBM adalah bahan bakar yang tak bisa diperbarui, juga tidak ramah lingkungan. Selain terancam punah karena cadangan minyak nasional semakin menipis, bahan bakar jenis ini dikenal pemicu polusi udara nomor satu. BBM yang dipakai kendaraan bermotor saat ini menghasilkan zat beracun seperti CO2, CO, HC, NOX, dan debu. Kesemuanya menyebabkan gangguan pernapasan, kanker, bahkan pula kemandulan (Atmojo,2005).
Apabila kita lihat, kebutuhan BBM dari tahun ke tahun semakin meningkat, sementara cadangan minyak kita semakin menipis. Menurut Hikman Manaf (dalam Atmojo,2005) (Staf ahli Mentri ESDM) cadangan minyak bumi Indonesia saat ini diperkirakan sekitar 9 miliar barel dengan tingkat produksi mencapai 500 juta barel per tahun. Jika tidak ditemukan cadangan baru, maka minyak bumi akan habis 18 tahun lagi. Untuk mengatasi masalah BBM dengan semakin menipisnya cadangan minyak nasional tersebut, perlu dilakukan langkah-langkah upaya diversifikasi energi. Khususnya, upaya untuk memproduksikan jenis energi terbarukan (renewable) yang berasal dari tumbuh-tumbuhan, seperti bioetanol dan biodiesel. Jenis energi ini diketahui sangat ramah lingkungan dan sekaligus akan dapat menciptakan lapangan kerja di pedesaan dalam jumlah yang besar karena bahan bakunya dapat berasal dari singkong, tebu, jagung, kelapa, biji jarak, kelapa sawit, bunga matahari, dan sebagainya. Kedua jenis bioenergi ini tepat dikembangkan karena disamping mampu menggerakan sektor agribisnis, juga mampu memperjakan petani di pedesaan (Atmojo,2005).
Departemen Energi dan sumber daya mineral (dalam Anonim,2010) menyebutkan bahwa cadangan minyak bumi Indonesia hanya cukup untuk 18 tahun ke depan, sementara cadangan gas bumi masih mencukupi untuk 61 tahun ke depan, sedangkan cadangan batubara habis dalam jangka waktu 147 tahun lagi
Kalau mau diteliti lebih jauh Indonesia mempunyai sumber energi dari sektor migas yang cukup besar. Di Kaltim misalnya, pada tahun 2002 terdapat cadangan migas sebanyak 1.173.525,4 MMSTB (juta stok tank barrel) (Anonim,2010).
Ratnawati (dalam Anonim,2010)  menyatakan, bahwa pada tahun 2004 total cadangan gas mencapai 182,5 TCF (trillion cubic feet) dengan 13 TCF yang berada di Jatim. Di Gresik, tepatnya blok Ujungpangkah terdapat cadangan gas sebesar 36.5 TCF pertahun (Kompas Jatim 12 Oktober 2005 dalam Anonim,2010).
Blok Cepu yang terletak di Bojonegoro, Jawa Timur, memiliki kandungan minyak dan gas yang sangat besar. Cadangan minyaknya diperkirakan mencapai 2 miliar barel, sedangkan cadangan gas mencapai 11 TCF. Dengan kandungan sebesar itu, Blok Cepu diperkirakan akan menjadi ladang minyak terbesar di Indonesia, setelah Duri di Riau. Sehingga menjanjikan energi masa depan buat Indonesia (Tempo Interaktif 17 Mei 2005 dalam Anonim,2010).
Pada tahun 2005 juga telah ditemukan cadangan minyak di laut dengan kedalaman 1.200 meter di bawah permukaan laut. Bahkan baru-baru ini yang mengagetkan juga bagi warga Jonggol tepatnya di kampung Malimping ditemukan cadangan minyak bumi mencapai 300 juta barel yang dapat diekaploitasi mencapai 70 tahun (Tempo Interaktif 5 April 2005 dalam Anonim,2010).
Namun, satu hal yang sangat disayangkan bahwa sumber migas yang begitu besar nilainya yang telah diuraikan diatas ternyata sudah bukan lagi milik masyarakat Indonesia seutuhnya, karena sebagian besar telah di lakukan kontrak kerjasama dengan perusahaan asing untuk mengeksploitasi sumber migas tersebut. Sebut saja misalnya, cadangan migas yang terdapat di Blok Cepu dan Tuban telah dikuasai oleh Exxon Mobil Oil, bahkan kontrak ini akan diperpanjang sampai tahun 2030. Begitu pula dengan cadangan migas yang terdapat di Blok D-Alpha Natuna telah dikuasai oleh Exxon yang telah berakhir pada tahun 2005. Cadangan gas bumi blok Ujungpangkah di Gresik dikuasai oleh Amerada Hess, sebuah investor asing gabungan Amerika-Canada. Cadangan migas yang terdapat di Kaltim sampai sekarang masih dikuasai Shell. Bahkan untuk sumber cadangan minyak terbaru di Jonggol pun, pengeksploitasiannya telah diserahkan kepada dua perusahaan eksploitasi tambang, yaitu PT Ranhil Corporation dan PT Bumi Parahyangan
Sungguh sangat disayangkan memang melihat fakta di atas. Dengan beralihnya sekian banyak sumber energi yang kita miliki ke tangan asing mengakibatkan Indonesia menjadi negeri yang krisis akan energi.
Fakta mencengangkan, ketika bangsa ini tengah disibukkan dengan penghematan energi dan pengembangan bioenergi sebagai sumber energi alternatif, di sisi lain justru terjadi pemborosan pemakaian sumber energi di beberapa negara besar, seperti: AS, Cina, Jepang, dan India. Pertumbuhan ekonomi Cina yang mencapai 9,5 persen sepanjang 2004 membuat permintaan energi di Negeri Tirai Bambu itu meningkat 15,1 persen. Konsumsi Cina saat ini mencapai 13,6 persen dari total energi dunia. Adapun India tercatat sebagai yang terbesar untuk negara-negara Non-Organisasi Pembangunan dan Kerja Sama Ekonomi (Organization for Economic Cooperation and Development/OECD) dengan tingkat permintaan sebesar 7,2 persen (Tempo Interaktif 27 juni 2005 dalam Anonim,2010).
Akibat penggunaan bahan bakar fosil (fuel fosil) dalam jangka panjang ternyata telah memberikan implikasi negatif terhadap kehidupan di dunia. Hasil penelitian dari sekelompok peneliti di bawah naungan Badan Peserikatan Bangsa Bangsa (PBB), Panel Antarpemerintah Tentang Perubahan Iklim atau disebut International Panel on Climate Change (IPCC), menyebutkan penggunaan bahan bakar fosil seperti minyak bumi, batu bara dan gas alam telah menyumbangkan cukup besar emisi gas efek rumah kaca yaitu karbon dioksida ke atmosfer bumi yang ikut andil dalam proses pemanasan global (global warming). Pemanasan global memberikan dampak sangat negatif pada stabilitas kehidupan manusia antara lain menyebabkan iklim tidak stabil, peningkatan suhu permukaan laut, suhu global dunia akan cenderung meningkat, gangguan ekologis serta berdampak pada kehidupan sosial dan politik.
Kondisi ini sangat memprihatinkan, ketergantungan terhadap sumber energi tidak dapat dihindarkan, dengan semakin majunya peradaban manusia maka kebutuhan akan sumber energi dalam setiap sektor kehidupan sangatlah besar. Ketergantungan masyarakat Indonesia terhadap bahan bakar minyak sangatlah besar. Berdasarkan data ESDM (2006), minyak bumi mendominasi 52,5% pemakaian energi di Indonesia, gas bumi sebesar 19%, batu bara 21,5%, air 3,7%, panas bumi 3% dan energi terbarukan (renewable) hanya sekitar 0,2% dari total penggunaan energi.
Dengan melihat implikasi negatif dari penggunaan bahan bakar fosil terhadap lingkungan dan keterbatasan persediaan telah mendorong kepada pencarian sumber energi alternatif yang diharapakan juga ramah lingkungan dan bersifat dapat diperbaharui (renewable). Padahal menurut data ESDM (2006), cadangan minyak bumi Indonesia hanya sekitar 9 miliar barel per tahun dan produksi Indonesia hanya sekitar 900 juta barel per tahun. Jika terus dikonsumsi dan tidak ditemukan cadangan minyak baru atau tidak ditemukan teknologi baru untuk meningkatkan recovery minyak bumi, diperkirakan cadangan minyak bumi Indonesia habis dalam waktu 23 mendatang (Eliantika,2009).

Tabel: Ketersediaan energi fosil di Indonesia
Energi Fosil
Minyak Bumi
Gas
Batu Bara
Sumber daya
86,9 miliar barel
384,7 TSCF
57 miliar ton
Cadangan (proven+posibble)
9 miliar barel
182 TSCF
19,3 miliar ton
Produksi per tahun
500 juta barel
3,0 TSCF
130 juta ton
Cadangan /Produksi (Tahun)
23
62
146
 Sumber : Direktorat Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi, 2006
Bioenergi yang merupakan energi alternatif pengganti bahan bakar minyak dianggap sebagai tonggak penopang keselamatan dunia, karena sifatnya yang non polutif. Bioenergi selain bisa diperbaharui bersifat ramah lingkungan, dapat terurai, mampu mengeliminasi efek rumak kaca dan kontinyuitas bahan baku cukup terjamin. Bahan baku bioenergi dapat diperoleh dengan cara sederhana yaitu melalui budidaya tanaman penghasil biofuel dan memanfaatkan limbah yang ada di sekitar kehidupan manusia (Setiawan dalam Eliantika 2009).
Bioenergi yang dikenal sekarang ada dua bentuk yaitu tradisional dan modern. Bioenergi tradisional yang sering ditemui yaitu kayu bakar (biomasssa), sedangkan bioenergi modern diantaranya adalah bioetanol, biodiesel dan biogas. Bioenergi modern inilah sangat tepat dikembangkan di pedesaan Indonesia. Bioenergi diturunkan dari biomassa yaitu material  yang dihasilkan oleh mahluk hidup (tanaman, hewan dan mikroorganisme). Indonesia memiliki banyak sumber daya alam hayati yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku bionergi. Pengembangan bioenergi sebagai sumber energi alternatif sangat cocok diaplikasikan karena didukung dengan oleh ketersediaan lahan yang mencukupi untuk membudidayakan tanaman dan ternak penghasil biofuel.
Indonesia memiliki sumber daya lahan yang sangat luas untuk pengembangan berbagai komoditas pertanian. Luas daratan Indonesia mencapai 188,20 juta ha, yang terdiri atas 148 juta ha lahan kering dan 40,20 juta ha lahan basah, dengan jenis tanah, iklim, fisiografi, bahan induk (volkan yang subur), dan elevasi yang beragam. Kondisi ini memungkinkan untuk pengusahaan berbagai jenis tanaman,termasuk komoditas penghasil bioenergi (Mulyani dan Las dalam Eliantika 2009). Dan beberapa bahan baku bioenergi adalah kelapa sawit, sagu, kelapa, ubi kayu, jarak pagar, tebu, jagung dan limbah peternakan (Hambali, dkk dalam Eliantika 2009).
Berikut penjelasan yang dapat diuraikan tentang berbagai bioenergi yang tepatguna dikembangkan di pedesaan Indonesia.
Biomassa
Biomassa merupakan bahan hayati yang biasanya dianggap sebagai sampah dan sering dimusnahkan dengan cara di bakar. Terkadang kita tidak tahu bahwa banyak hal yang bisa dimanfaatkan dari sisa-sisa makanan atau barang yang kita anggap sebagai sampah. Biomassa tersebut dapat diolah menjadi bioarang, yang merupakan bahan bakar yang memiliki nilai kalor yang cukup tinggi dan dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, saat ini sedang digencarkan pemanfaatan sampah sebagai bahan baku dalam teknologi biomassa untuk diolah sehingga dapat digunakan sebagai sumber energi. Atau batok kelapa sawit yang dijadikan briket yang saat ini pengembangannya mulai dilirik oleh para peneliti.
Biodiesel
Penelitian di bidang biodiesel sejauh ini terus berkembang dengan memanfaatkan beragam lemak nabati dan hewani untuk mendapatkan bahan bakar hayati (biofuel) dan dapat diperbaharui (renewable). Biodiesel merupakan bahan bakar yang memiliki sifat menyerupai minyak diesel/solar. Bahan bakar ini ramah lingkungan karena menghasilkan emisi gas buang yang jauh lebih baik dibandingkan dengan diesel/solar, yaitu bebas sulfur, bilangan asap (smoke number) yang rendah, memiliki cetane number yang lebih tinggi, pembakaran lebih sempurna, memiliki sifat pelumasan terhadap piston mesin dan dapat terurai (biodegradable) sehingga tidak menghasilkan racun (non toxic).
Pembuatan biodiesel dari minyak nabati dilakukan dengan mengkonversi trigliserida (komponen utama minyak nabati) menjadi metil ester asam lemak, dengan memanfaatkan katalis pada proses metanolisis/esterifikasi. Di Indonesia, potensi bahan baku biodiesel sangat melimpah. Saat ini Indonesia adalah negara penghasil minyak nabati terbesar di dunia, bahan baku minyak nabati meliputi asam lemak dari kelapa sawit, jarak pagar, kelapa.
Bioetanol
Untuk menganti premium, alternatifnya adalah gasohol (gasoline-alkohol) yang merupakan campuran antara bensin dan bioetanol. Bioetanol bersumber dari karbohidrat yang potensial sebagai bahan baku seperti jagung, ubi kayu, ubi jalar, sagu, dan tebu. Dari beberapa bahan baku tersebut, diketahui bahwa tanaman jagung merupakan pakan unggulan untuk bahan utama bioetanol karena selain dari segi ekonomis tergolong murah, jumlah hasil bioetanol yang dihasilkan jagung ternyata lebih besar diantara tanaman lain.
Setelah bahan baku diatas melalui proses fermentasi, dihasilkanlah etanol. Dan dari etanol dapat dibuat etanol 99,5% atau fuel grade ethanol yang bisa digunakan untuk campuran gasohol. Di dalam etanol, terdapat 35% oksigen yang dapat meningkatkan efisiensi pembakaran mesin dan juga meningkatkan angka oktan seperti zat aditif Methyl Tertiary Buthyl Ether (MTBE) dan Tetra Ethyl Lead (TEL). Selain itu, etanol juga bisa terurai sehingga dapat mengurangi emisi gas buang berbahaya.
Biogas
Peluang pengembangan bioenergi khususnya biogas, juga dimungkinkan untuk berkembang di Indonesia baik untuk aplikasi industri skala kecil dan menengah. Berbagai sampah organik dan limbah-limbah agroindustri merupakan bahan baku yang potensial untuk diolah menjadi biogas melalui pemanfaatan teknologi anaerobik. Pada prinsipnya, teknologi anaerobik adalah proses dekomposisi biomassa secara mikrobiologis dalam kondisi anaerobik (tanpa oksigen).
Secara garis besar bahan baku yang diperlukan adalah biomassa (residu mahluk hidup), mikroorganisme, dan air. Produk utama dari biogas ini adalah gas metana dan pupuk organik. Gas metana telah dikenal luas sebagai bahan baku ramah lingkungan, karena dapat terbakar sempurna sehingga tidak menghasilkan asap yang bepengaruh buruk terhadap kualitas udara. Karena sifatnya tersebut, gas metana merupakan gas yang bernilai ekonomis tinggi dan dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan mulai dari memasak, hingga penggerak turbin pembangkit listrik tenaga uap. (Ibrahim, 2007).
 Faktor-faktor kunci yang memungkinkan untuk:
1.      pengembangan kewiraswastaan bioenergi yang berorientasi kepada lingkungan
a.       Tersedianya lahan-lahan marjinal tak terolah untuk pemanfaatan tanaman sumber bioenergi agar lebih intensif di Indonesia (Lahan marginal: Lahan dengan produktivitas yang sangat rendah. Kondisi lahan dicirikan oleh bahan penyusun tanah yang dominan (> 80 %) terdiri dari pasir sehingga ketersediaan air dan unsur hara tanaman sangat rendah. Ini berakibat hanya tanaman tertentu yang dapat tumbuh dengan kondisi yang merana).
b.      Dalam pengembangan bioenergi adanya prinsip-prinsip pengembangan dengan didasarkan asas tidak mengorbankan ketersediaan dan ketahanan pangan.
c.       Dilakukannya Survei lahan yang cocok untuk tanaman sumber bioenergi, dan dapat pula memanfaatkan proyek lahan gambut yang terlantar
d.      Adanya pengadaan bibit, pupuk, dan pembinaan menyangkut karakteristik produksi tanaman yang standar untuk pengolahan bioenergi, semisal ukuran, kadar air, umur, dan lain sebagainya,sehingga sebelum terkelola terlebih dahulu di analisis dengan baik.
e.       Bioenergi dikembangkan dari varietas jenis-jenis tanaman yang mempunyai produksi tinggi.
f.       Sebelum pengembangannya, perlu di identifikasi perwilayahan komoditas yang dialokasikan untuk lahan untuk pangan dan lahan untuk bioenergi.
g.      Pengembangan bioenergi pada komoditas pertanian harus didasarkan pada agroekosistem agar memperoleh produksi optimum. Dua faktor utama dalam agroekosistem adalah sifat-sifat tanah dan iklim.
h.      Pemilihan jenis komoditas pertanian yang disesuaikan antara kemampuan lahan dan karakteristik tanaman selain aman bagi kelestarian lingkungan juga murah dalam implementasinya.
i.        Pengembangan pangan padi dapat diarahkan pada lahan rawa pasang surut yang masih rendah produksinya sekitar 1-2 tonlha. Produksi tersebut dapat ditingkatkan menjadi 4-5 tonlha dengan teknologi pemupukan dan pengendalian pH air. Lahan rawa masih sangat luas di Pantai Timur Sumatera dan Kalimantan sekitar 6 juta ha.
j.        Pengembangan bahan bioenergi dilakukan pada lahan kritis yang sulit dikembangakan untuk produksi bahan pangan sehingga perlu pemetaan daerah pengembangan tanaman penghasil energi. Sebagai gambaran umum, tanaman sorghum dikembangkan pada daerah sangat kering Jawa Timur, Nusa Tenggara, Sulawesi Tenggara, dan Meraoke. Singkong dikembangkan pada daerah yang relatif kering seperti Lampung, Jawa Tengah, Jawa Timur. Tanaman sagu dikembangkan di daerah rawa-rawa di Sumatera, Maluku dan Papua. Lokasi untuk tanarnan bioenergi belum sepenuhnya diketahui sehingga perlu dipetakan.
2.      Pengembangan kewiraswastaan bioenergi yang berorientasi pada kesejahteraan masyarakat
a.       Petani/pengelola layak memperoleh keringanan pajak sawah dan insentif lain misalnya melalui harga bibit, pupuk. Teknologi (berkaitan dengan sumber mentah bioenergi nabati) dan kepastian harga hasil pangan dan prioritas harga yang terjangkau agar petani lebih bergairah dan mendapat angin segar dalam mengelola produk tani.
b.      Pengembangan pertanian yang selalu menggunakan sistem daur ulang (recycle) melalui pertanian terpadu, misal: tanaman pangan-temak-kolam-biogas merupakan salah satu solusi yang perlu dikembangkan di daerah pedesaan. Petani perlu dimotivasi dengan mengefisienkan setiap tahap usaha pertanian dengan memanfaatkan limbah sebagai bahan baku proses produksi selanjutnya. Limbah tanaman padi, jagung, kedelai dan lain-lain merupakan sumber makanan temak. Sementara itu limbah ternak dapat dimanfaatkan untuk biogas yang bisa digunakan sebagai sumber energi kompor gas dan penerangan di pedesaan. Limbah dari biogas dapaf digunakan sebagai sumber pupuk yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesuburan tanah dan kolam. Dengan sistem petanian terpadu, petani akan memperoleh pendapatan dari setiap proses kegiatan pertanian.
c.       Dengan adanya pengembangan di bidang bioenergi, tentunya dapat membuat petani lebih bersemangat untuk berproduksi dalam skala makro, sehingga selain wilayah pedesaaan bisa tergarap dengan sempurna, keuntungan lainnya petani akan mendapatkan keuntungan hasil produksi yang lebih meningkat, bahkan menjadi pemasukan devisa negara. Sehingga implementasinya selain dapat menyejahterakan kehidupan masyarakat itu sendiri.
d.      Pengembangan energy alternative merupakan produk substitusi bahan bakar minyak fosil untuk mengalihkan subsidi BBM ke sector penciptaan lapangan kerja.
e.       Misalnya pemanfaata jarak menjadi biodiesel (atau semisal tnaman nabati lainnya). Dalam konteks ini, tanaman jarak pagar lebih realistis dibandingkan sawit yang butuh lahan luas. Sawit sulit terjangkau masyarakat, butuh investasi besar panen relative lama. Dengan jarak pagar, lahan sempit pun jadi, pemeliharaan relative mudah, teknologi sederhana, berbiaya murah, panen cepat dan kesempatan peluang usaha.
3.      Pengembangan bioenergi yang berorientasi kepada kewirausahan inovatif.
a.       Dalam hal ini pemerintah harus memfasilitasi dan memberi insentif terhadap riset-riset yang concern dalam bidang bioenergi, jika perlu memfasilitasi dalam pemberian hak paten terhadap hasil penelitian. Dalam kaitanya dengan produsen maka pemerintah memfasilitasi pengadaan bio energi dari hulu sampai hilir. Dalam hal produksi maka pemerintah harus memperhatikan pemasok bahan baku bioenergi (dalam hal ini petani) sampai pengolah (pemroduksi bio energi). Dengan demikian maka program bio energi sejatinya program pemberdayaan petani, UKM, dan BUMN bidang energi.
b.      Pengembangannya inovatif karena memanfaatkan hasil nabati dan hewani umum yang biasanya dihasilkan dalam jumlah banyak, namun tak termanfaatkan (karena tidak umum dimanfaatkan masyarakat) seperti tempurung sawit yang bias diolah menjadi biogas.
c.       Pengembangan bioenergi di dunia persentasenya sangat kecil saat ini, maka dari itu memperbesar peluang kewirausahaan ini dapat dikembangkan dengan maksimal.




BAB III
PEMBAHASAN

Melihat bahwa banyaknya tersedia lahan di Indonesia untuk pengembangan yang optimal bioenergi di pedesaan, maka kemungkinan wirausaha yang dapat dikembangkan dari sektor biomassa, biodiesel, bioetanol, dan biogas antara lain meliputi:
a.      Biogas
Secara garis besar bahan baku yang diperlukan dalam menghasilkan biogas adalah biomassa (residu mahluk hidup), mikroorganisme, dan air. Produk utama dari biogas ini adalah gas metana dan pupuk organik. Gas metana telah dikenal luas sebagai bahan baku ramah lingkungan, karena dapat terbakar sempurna sehingga tidak menghasilkan asap yang bepengaruh buruk terhadap kualitas udara. Karena sifatnya tersebut, gas metana merupakan gas yang bernilai ekonomis tinggi dan dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan mulai dari memasak, hingga penggerak turbin pembangkit listrik tenaga uap (AlAzhar,2009).
Limbah peternakan khususnya ternak sapi merupakan bahan buangan dari usaha peternakan sapi yang selama ini juga menjadi salah satu sumber masalah dalam kehidupan manusia sebagai penyebab menurunnya mutu lingkungan melalui pencemaran lingkungan, menggangu kesehatan manusia dan juga sebagai salah satu penyumbang emisi gas efek rumah kaca. Pada umumnya limbah peternakan hanya digunakan untuk pembuatan pupuk organik. Untuk itu sudah selayaknya perlu adanya usaha pengolahan limbah peternakan menjadi suatu produk yang bisa dimanfaatkan manusia dan bersifat ramah lingkungan.
Pengolahan limbah peternakan melalui proses anaerob atau fermentasi perlu digalakkan karena dapat menghasilkan biogas yang menjadi salah satu jenis bioenergi. Pengolahan limbah peternakan menjadi biogas ini diharapkan dapat mengurangi ketergantungan pada bahan bakar minyak yang mahal dan terbatas, mengurangi pencemaran lingkungan dan menjadikan peluang usaha bagi peternak karena produknya terutama pupuk kandang banyak dibutuhkan masyarakat lingkungan dan meningkatkan nilai dari limbah itu sendiri. Dan salah satu limbah yang dihasilkan dari aktifitas kehidupan manusia adalah limbah dari usaha peternakan sapi yang terdiri dari feses, urin, gas dan sisa makanan ternak.
Biogas dari Limbah Peternakan Sapi
Limbah peternakan seperti feses, urin beserta sisa pakan ternak sapi merupakan salah satu sumber bahan yang dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan biogas. Namun di sisi lain perkembangan atau pertumbuhan industri peternakan menimbulkan masalah bagi lingkungan seperti menumpuknya limbah peternakan termasuknya didalamnya limbah peternakan sapi. Limbah ini menjadi polutan karena dekomposisi kotoran ternak berupa BOD dan COD (Biological/Chemical Oxygen Demand), bakteri patogen sehingga menyebabkan polusi air (terkontaminasinya air bawah tanah, air permukaan), polusi udara dengan debu dan bau yang ditimbulkannya.
Biogas merupakan renewable energy yang dapat dijadikan bahan bakar alternatif untuk menggantikan bahan bakar yang berasal dari fosil seperti minyak tanah dan gas alam (Houdkova et.al dalam Eliantika 2009). Biogas juga sebagai salah satu jenis bioenergi yang didefinisikan sebagai gas yang dilepaskan jika bahan-bahan organik  seperti kotoran ternak, kotoran manusia, jerami, sekam dan daun-daun hasil sortiran sayur difermentasi atau mengalami proses metanisasi (Hambali E dalam Eliantika 2009).
Gas metan ini sudah lama digunakan oleh warga Mesir, China, dan Roma kuno untuk dibakar dan digunakan sebagai penghasil panas. Sedangkan proses fermentasi lebih lanjut untuk menghasilkan gas metan ini pertama kali ditemukan oleh Alessandro Volta (1776). Hasil identifikasi gas yang dapat terbakar ini dilakukan oleh Willam Henry pada tahun 1806. Dan Becham (1868) murid Louis Pasteur dan Tappeiner (1882) adalah orang pertama yang memperlihatkan asal mikrobiologis dari pembentukan gas metan.
Gas ini berasal dari berbagai macam limbah organik seperti sampah biomassa, kotoran manusia, kotoran hewan dapat dimanfaatkan menjadi energi melalui proses anaerobik digestion (Pambudi, 2008). Biogas yang terbentuk dapat dijadikan bahan bakar karena mengandung gas metan (CH4) dalam persentase yang cukup tinggi. Komponen biogas tersajikan pada table berikut:
Tabel: Komponen penyusun biogas
Jenis Gas
Persentase
Metan (CH4)
50-70%
Karbondioksida (CO2)
30-40%
Air (H2O)
0,3%
Hidrogen sulfide (H2S)
Sedikit sekali
Nitrogen (N2)
1- 2%
Hidrogen
5-10%
Sumber : Bacracharya, dkk., 1985 (dalam Eliantika 2009)
Sebagai pembangkit tenaga listrik, energi  yang dihasilkan oleh biogas setara dengan 60 – 100 watt lampu selama 6 jam penerangan. Kesetaraan biogas dibandingkan dengan bahan bakar lain dapat dilihat pada tabel.
 Tabel 3. Nilai kesetaraan biogas dan energi yang dihasilkan
Aplikasi
1m3 Biogas setara dengan

1 m3 biogas
Elpiji 0,46 kg
Minyak  tanah 0,62 liter
Minyak solar 0,52 liter
Kayu bakar 3,50 kg
Sumber : Wahyuni, 2008(dalam Eliantika 2009)
            Biogas sebagai salah satu sumber energi yang dapat diperbaharui dapat menjawab kebutuhan akan energi sekaligus menyediakan kebutuhan hara tanah dari pupuk cair dan padat yang merupakan hasil sampingannya serta mengurangi efek rumah kaca. Pemanfaatan biogas sebagai sumber energi alternatif dapat mengurangi penggunaan kayu bakar. Dengan demikian dapat mengurangi usaha penebangan hutan, sehingga ekosistem hutan terjaga. Biogas menghasilkan api biru yang bersih dan tidak menghasilkan asap.
Energi biogas sangat potensial untuk dikembangkan kerena produksi biogas peternakan ditunjang oleh kondisi yang kondusif dari perkembangkan dunia peternakan sapi di Indonesia saat ini. Disamping itu, kenaikan tarif listrik, kenaikan harga LPG (Liquefied Petroleum Gas), premium, minyak tanah, minyak solar, minyak diesel dan minyak bakar telah mendorong pengembangan sumber energi elternatif yang murah, berkelanjutan dan ramah lingkungan (Nurhasanah dkk dalam Eliantika 2009).
Peningkatan kebutuhan susu dan pencanangan swasembada daging tahun 2010 di Indonesia telah merubah pola pengembangan agribisnis peternakan dari skala kecil menjadi skala menengah/besar. Di beberapa daerah telah berkembang koperasi susu, peternakan sapi pedaging melalui kemitraan dengan  perkebunaan kelapa sawit dan sebagainya. Kondisi ini mendukung ketersediaan bahan baku biogas secara kontinyu dalam jumlah yang cukup untuk memproduksi biogas.
Pemanfaatan limbah peternakan khususnya kotoran ternak sapi menjadi biogas mendukung konsep zero waste sehingga sistem pertanian yang berkelanjutan dan ramah lingkungan dapat dicapai.
Menurut Santi (dalam Eliantika 2009) beberapa  keuntungan  penggunaan  kotoran ternak sebagai  penghasil  biogas  sebagai berikut :
1.      Mengurangi pencemaran lingkungan terhadap air dan tanah, pencemaran udara (bau).
2.      Memanfaatkan limbah ternak tersebut sebagai bahan bakar biogas yang dapat digunakan sebagai energi alternatif untuk keperluan rumah tangga.
3.      Mengurangi biaya pengeluaran peternak untuk kebutuhan energi bagi kegiatan rumah tangga yang berarti dapat meningkatkan kesejahteraan peternak.
4.      Melaksanakan pengkajian terhadap kemungkinan dimanfaatkannya biogas untuk menjadi energi listrik untuk diterapkan di lokasi yang masih belum memiliki akses listrik.
5.      Melaksanakan pengkajian terhadap kemungkinan dimanfaatkannya kegiatan ini sebagai usulan untuk mekanisme pembangunan bersih (Clean Development Mechanism)
(Anonim,2009)

b.      Bioetanol
Pada panen raya melimpahnya hasil singkong di lahan-lahan transmigrasi kita merupakan masalah sulit untuk dipecahkan, mengingat tidak ada pabrik yang sanggup mengolah singkong menjadi produk jadi. Untuk mengatasi hal tersebut dibuatlah etanol (bioetanol). Kementerian Ristek, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) sudah sejak lama telah mengkaji pelbagai sumber energi alternatif yang bisa menggantikan BBM cair. Bioetanol merupakan etanol atau bahan alkohol hasil proses fermentasi singkong. Bahan ini bisa dimanfaatkan sebagai bahan bakar yang disebut gasohol. Gasohol merupakan paduan dari gasoline alkohol, yakni hasil percampuran bensin biasa dengan bioetanol dan BBM bernama Gasohol BE-10.
BBM yang satu ini memang bukan 100 persen biodisel, melainkan campuran 90 persen bensin dan 10 persen bioetanol. Hasil paduan keduanya menghasilkan emisi karbon monoksida dan hidrokarbon yang lebih minim dibanding bensin premium yang beredar saat ini, bahkan  dapat meningkatkan angka oktan sehingga menghasilkan jenis bensin baru yang lebih bagus dari pertamax dan lebih ramah lingkungan. Di Brasil, komposisi campurannya adalah 25 persen etanol dan 75 persen bensin. Demikian juga biodiesel dapat dicampur dengan solar untuk menghasilkan jenis solar baru yang jauh lebih bagus dan lebih ramah lingkungan.
Dampak yang terpenting dari pengembangan gasohol ini adalah mampu menampung produksi singkong di pedesaan utamanya di lahan-lahan transmigrasi yang pada musim tertentu akan melimpah ruah.
Bioethanol sebagai pengganti premium, alternatifnya adalah gasohol (gasoline-alkohol) yang merupakan campuran antara bensin dan bioetanol. Bioetanol bersumber dari karbohidrat yang potensial sebagai bahan baku seperti jagung, ubi kayu, ubi jalar, sagu, dan tebu. Dari beberapa bahan baku tersebut, diketahui bahwa tanaman jagung merupakan pakan unggulan untuk bahan utama bioetanol karena selain dari segi ekonomis tergolong murah, jumlah hasil bioetanol yang dihasilkan jagung ternyata lebih besar diantara tanaman lain.
Setelah bahan baku diatas melalui proses fermentasi, dihasilkanlah etanol. Dan dari etanol dapat dibuat etanol 99,5% atau fuel grade ethanol yang bisa digunakan untuk campuran gasohol. Di dalam etanol, terdapat 35% oksigen yang dapat meningkatkan efisiensi pembakaran mesin dan juga meningkatkan angka oktan seperti zat aditif Methyl Tertiary Buthyl Ether (MTBE) dan Tetra Ethyl Lead (TEL). Selain itu, etanol juga bisa terurai sehingga dapat mengurangi emisi gas buang berbahaya. Berikut ini adalah mesin bioethanol kalau misalnya ada sebuah perusahaan yang menggunakan bioethanol:

c.       Biodiesel
Pemanfaatan Jarak Pagar Menjadi Biodiesel
Pemanfaatan minyak Jarak (Jatropha curcas L) sebagai bahan bio-diesel merupakan alternatif yang ideal untuk mengurangi tekanan permintaan bahan bakar minyak dan penghematan penggunaan cadangan devisa. Minyak Jarak Pagar selain merupakan sumber minyak terbarukan (reneweble fuels) juga termasuk non edible oil sehingga tidak bersaing dengan kebutuhan konsumsi manusia seperti pada minyak kelapa sawit, minyak jagung dll.
Biodiesel bukan barang baru di Indonesia. Di jaman Jepang, orang Indonesia disuruh membuat minyak diesel dari tanaman jarak untuk menggerakkan mesin-mesin perangnya. Saat itu, Jepang mulai kehabisan BBM. Di masa kini, strategi itu ditinjau kembali. Kini biodiesel telah dikembangkan oleh para pakar ITB. BBM alternatif satu ini sudah 100 persen biodisel alami. Pengolahannya cukup sederhana. Sekitar 50 kilogram buah jarak dihancurkan dengan blender atau dipres dengan mesin diesel. Hasilnya diperas, kemudian dilakukan penyaringan dan pemurnian sampai menghasilkan minyak. Untuk setiap 10 kilogram buah bisa dihasilkan sekitar 3,5 liter minyak jarak yang sama kualitasnya dengan solar. Bedanya tipis sekali, yakni minyak jarak memiliki lebih banyak oksigen dan nilai kalorinya lebih rendah dari solar serta proses pembakaran pada minyak jarak lebih sempurna dan bersih.
            Secara agronomis tanaman Jarak Pagar dapat beradaptasi dengan lahan dan agroklimat di Indonesia, bahkan dapat tumbuh pada kondisi kering dan pada lahan marginal/kritis. Akan tetapi ada permasalahan yang dihadapi, yaitu belum adanya varietas unggul dan teknik budidaya yang memadai. Puslitbang Teknologi lsotop dan Radiasi BATAN telah memanfaatkan teknologi nuklir untuk mendapatkan varietas unggul tanaman jarak pagar melalui perbaikan genetik dengan tujuan meningkatkan produktivitas dan kandungan minyak biji Jarak. Departemen Pertanian berencana mengembangkan 1,2 juta hektar lahan jarak pagar di Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Maluku, dan Papua. Tanaman ini tidak hanya jadi salah satu alternatif pengganti BBM berbahan dasar fosil, melainkan juga untuk merehabilitasi lahan kritis 23 juta hektar di Indonesia dan menyerap banyak tenaga kerja sekaligus mengurangi angka kemiskinan.
Biodiesel mempunyai beberapa kelebihan.: (1) biodiesel memiliki bilangan kualitas pembakaran yang lebih tinggi daripada solar yang ada di pasaran. (2) biodiesel adalah bahan bakar beroksigen. Karenanya, penggunaannya akan mengurangi emisi CO dan jelaga hitam pada gas buang atau lebih ramah lingkungan. (3) titik kilat tinggi, yakni temperatur tertinggi yang dapat menyebabkan uap biodiesel dapat menyala. Sehingga, biodiesel lebih aman dari bahaya kebakaran. (4) tidak mengandung belerang dan benzena yang mempunyai sifat karsinogen, serta dapat diuraikan secara alami. Sehingga ramah lingkungan. (5) dilihat dari segi pelumasan mesin, biodiesel lebih baik daripada solar sehingga pemakaian biodiesel dapat memperpanjang umur pakai mesin. (6) dapat dengan mudah dicampur dengan solar biasa dalam berbagai komposisi dan tidak memerlukan modifikasi mesin apapun. Pembuatan biodiesel dari minyak nabati dilakukan dengan mengkonversi trigliserida (komponen utama minyak nabati) menjadi metil ester asam lemak, dengan memanfaatkan katalis pada proses metanolisis/esterifikasi (Al-azhar,2009).
Pembuatan biodiesel dari minyak nabati dilakukan dengan mengkonversi trigliserida (komponen utama minyak nabati) menjadi metil ester asam lemak, dengan memanfaatkan katalis pada proses metanolisis/esterifikasi. Di Indonesia, potensi bahan baku biodiesel sangat melimpah. Saat ini Indonesia adalah negara penghasil minyak nabati terbesar di dunia, bahan baku minyak nabati meliputi asam lemak dari kelapa sawit, jarak pagar, kelapa, sirsak, srikaya, kapuk, dan alga. Dan dibawah ini adalah contoh proses biodiesel:

Biodiesel dari Minyak Kelapa Sawit (CPO)
Kelapa sawit mempunyai prospek untuk dikembangkan, mampu bersaing dengan minyak nabati lainnya untuk memenuhi permintaan dunia untuk pangan dan non pangan. Angka pertumbuhan produksi kelapa sawit Indonesia cukup tinggi (14%) diatas Malayasia (7%). Pada saat ini produksi minyak sawit kita masih dibawah Malaysia. Produksi tahun ini diperkirakan 7 juta ton, maka pada 2020 produksi minyak sawit nasional diprediksi bakal menembus angka 15 juta ton, atau melampaui produksi Malaysia yang sekitar 10 juta ton per tahun. Ekspor Indonesia sebagian besar masih dalam bentuk crude palm oil (CPO). Harga CPO bakal terpuruk karena pasok berlebih. Gejala itu bahkan sudah terlihat akhir-akhir ini di mana harga CPO cenderung menurun seiring meningkatnya pasok Indonesia dan negara produsen utama lainnya. Salah satu alternatif pemanfaatan minyak sawit di masa datang dengan diversifikasi produksi menjadikannya sumber energi biodiesel yang dapat digunakan sebagai bahan bakar alternatif ramah lingkungan.
Biodiesel diproduksi melalui proses interesterifikasi antara minyak sawit dan methanol yang menggunakan katalis basa pada suhu sekitar 60 derajat Celcius. Namun produksi biodiesel minyak sawit perlu dipadukan dengan proses pemisahan karoten untuk meningkatkan nilai tambah.
Berdasarkan hasil penelitian BPPT, bahan bakar biodisel terbilang ramah lingkungan karena tingkat pencemarannya rendah. Hal ini karena bebas polutanya  SOx NOx dan timbal dalam BBM. Biodisel kelapa sawit di negara seperti Amerika Serikat (AS) dan Australia sudah banyak diaplikasikan. Sedangkan pemakaian secara besar-besaran justru terjadi di negara Amerika Latin dan Afrika, di mana produksi kelapa sawit cukup tinggi. Di Jerman pemakaian biodisel sudah diterapkan langsung, baik untuk kendaraan maupun mesin industri. Bahkan Jerman sebagai negara yang sama sekali tidak memproduksi minyak kelapa sawit telah menjadi penghasil biodisel terbesar di dunia.
Selain ramah lingkungan, kelebihan lain produk ini yaitu pembakaran di dalam mesin makin sempurna dan emisi yang dikeluarkan sedikit serta asap yang keluar dari knalpot tidak pedih di mata. BBM ini makin cepat pembakarannya, mesin pun bekerja optimal dan membuat mesin makin awet.
Kelangkaan BBM yang kini terjadi hendaknya dijadikan momentum bagi pemerintah untuk menyiapkan kebijakan yang mendukung penggunaan biodiesel dan bioetanol. Perlu adanya kesungguhan dan komitmen pemerintah untuk pengembangan biodisel dan gasohol baik dari tingkat pusat hingga pemerintah kabupaten.
d.      Biomassa
Kebun dan pabrik kelapa sawit menghasilkan limbah padat dan cair dalam jumlah besar yang belum dimanfaatkan secara optimal. Serat dan sebagian cangkang sawit biasanya terpakai untuk bahan bakar boiler di pabrik, sedangkan tandan kosong kelapa sawit (TKKS) yang jumlahnya sekitar 23% dari tandan buah segar yang diolah, biasanya hanya dimanfaatkan sebagai mulsa atau kompos untuk tanaman kelapa sawit (Goenadi et al., 1998). Pemanfaatan dengan cara tersebut hanya menghasilkan nilai tambah yang terendah di dalam rangkaian proses pemanfaatannya.
neraca massa sawitGambar:Kesetaraan biomassa dan energi dalam proses pengolahan sawit di pabrik kelapa sawit
Proses pengolahan Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit menjadi Crude Palm Oil (CPO) secara sederhana dapat dilihat pada gambar diatas. Dari 1 ton TBS yang diolah dapat diperoleh CPO sebanyak 140 – 220 kg. Proses ini membutuhkan energi sebanyak 20–25 kWh/t dan 0.73 ton steam (uap panas). Proses pengolahan ini akan menghasilkan limbah padat, limbah cair dan gas. Limbah cair yang dihasilkan sebanyak 600–700 kg POME (Palm Oil Mill Effluent). Limbah padat yang dihasilkan adalah serat dan cangkang sebanyak 190 kg dan 230 kg TKKS segar (kadar air 65%). Selain itu juga dihasilkan limbah emisi gas dari boiler dan incenerator (Lacrosse dalam Goenadi 2008).
Potensi energi yang dapat dihasilkan dari produk samping sawit dapat dilihat dari nilai energi panas (calorific value). Nilai energi panas (calorific value) dari beberapa produk samping sawit ditunjukkan pada tabel. Produk samping yang memiliki nilai energi panas tinggi adalah cangkang dan serat. Cangkang dan serat (fibre) dimanfaatkan sebagian besar atau seluruhnya sebagai bahan bakar boiler PKS. Produk samping yang lain belum banyak dimanfaatkan sebagai sumber energi. TKKS yang juga memiliki nilai energi panas cukup tinggi saat ini banyak dimanfaatkan sebagai mulsa atau diolah menjadi kompos. Sebagian PKS masih membakar TKKS dalam incinerator untuk mengurangi volume limbah TKKS, walaupun sudah dilarang sejak tahun 1996.
Tabel:Nilai energi panas (calorific value) dari beberapa produk samping sawit (berdasarkan berat kering).

Rata-rata calorific value (kJ/kg)
Kisaran (kJ/kg)
TKKS
18 795
18 000 – 19 920
Serat
19 055
18 800 – 19 580
Cangkang
20 093
19 500 – 20 750
Batang
17 471
17 000 – 17 800
Pelepah
15 719
15 400 – 15 680

Sumber: Ma et.al. (2004) (dalam Goenadi,2008)
Dapat digunakan sebagai bahan bakar generator listrik. Sebuah PKS dengan kapasitas pengolahan 200_000 ton TBS/tahun akan menghasilkan seba-nyak 44_000 ton TKKS (kadar air 65%)/tahun. Nilai kalor (heating value) TKKS kering adalah 18.8 MJ/kg, dengan efisiensi konversi energi sebesar 25%, dari energi tersebut ekuivalen dengan 2.3 MWe (megawatt-electric) Sehingga semua bagian limbah padat dari sisa olahan sawit dapat juga diproses menjadi briket arang sebagai sumber energi terbarukan. Dengan teknologi yang relatif sederhana, pemanfaatan limbah padat menjadi briket arang merupakan suatu pilihan yang sangat realistis dan prospektif (Goenadi dkk,2008)
Briket ini diteliti Arganda Mulia, mahasiswa program pasca sarjana teknik kimia Universitas Sumatera Utara (USU) itu telah memiliki syarat sebagai bahan bakar dan telah melewati pengujian kadar CO x, NO x dan SO x. (Agus, 2009)


BAB IV
PENUTUP

-          Bioenergi yang merupakan energi alternatif pengganti bahan bakar minyak dianggap sebagai tonggak penopang keselamatan dunia, karena sifatnya yang non polutif. Bioenergi selain bisa diperbaharui bersifat ramah lingkungan.
-          Melihat bahwa banyaknya tersedia lahan di Indonesia untuk pengembangan yang optimal bagi bioenergi, maka kemungkinan wirausaha yang dapat dikembangkan dari sektor biomassa, biodiesel, bioetanol, dan biogas.
-          Jenis bioenergi yang kondusif bisa dimanfaatkan: dari jenis biomassa seperti
a.       Biomassa : Pemanfaatan sisa kelapa sawit menjadi briket
b.      Biodiesel : Pemanfaatan jarak pagar dan kelapa sawit
c.       Bioetanol : Pemanfaatan berbahan karbohidrat seperti jagung, ubi kayu, sagu, dan tebu.
d.      Biogas : Kotoran hewan dan sampah organik.











DAFTAR PUSTAKA

Al-azhar,2009. Indonesia sebagai lumbung bioenergi dunia. http://www.chem-is-try.org/artikel_kimia/kimia_lingkungan/indonesia_sebagai_lumbung_bioenergi_dunia/. Diakses 4 Oktober 2010





Eliantika, E.F.2009. Biogas Limbah Peternakan Sapi Sumber Energi Alternatif Ramah Lingkungan. http://www.tenangjaya.com/index.php/relevan-artikel/biogas-limbah-peternakan-sapi.htm. Diakses 4 oktober 2010

Ibrahim.2007. Indonesia Sebagai Lumbung Energi Dunia. http://www.chem-is-try.org/artikel_kimia/kimia_lingkungan/indonesia_sebagai_lumbung_bioenergi_dunia/. Diakses 4 Oktober 2010





Tidak ada komentar:

Pengikut